OPINI

Neraca Keadilan antara HRS dan Pinangki

Vonis empat tahun penjara. Adalah vonis yang diberikan pengadilan kepada Habib Rizieq Syihab, sama dengan Pinangki. Bedanya, Pinangki seorang jaksa yang menerima suap, money loundry, dan terlibat pemufakatan jahat dengan koruptor. Sedangkan Habib Rizieq Syihab seorang ulama yang dicari kesalahan atas hasil swab dirinya sendiri.

Banyak yang kedua kasus tersebut, mulai dari tokoh hingga rakyat biasa. Mereka menyoroti vonis empat tahun atas Habib Rizieq maupun Pinangki. Neraca keadilan terlihat rusak dikedua kasus tersebut. Yang satu terlihat diringankan, yang satu terlihat diperberat. Ketidakadilan itu terlihat terlalu telanjang dipertontonkan rezim hari ini.

Hakim memutuskan HRS terbukti bersalah dan secara sah melanggar Pasal 14 Ayat (1) subsider Pasal 14 Ayat (2) lebih subsider Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan primer. Terbukti bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan kebohongan dan membuat keonaran (Tribunnews.com, 24/06/2021).

Lucu bin aneh. Bagaimana kabar kebohongan yang dilakukan oleh para pejabat negeri ini? Adakah vonis penjara untuk mereka? Berjanji tidak impor, berjanji membuka lapangan pekerjaan, berjanji tidak menambah hutang, berjanji mendengarkan suara rakyat. Faktanya, tak semua janji dipenuhi. Bukankah itu kebohongan yang nyata.

Tuduhan membuat onar pun terdengar sumir. Keonaran yang mana yang dimaksud? Jika kerumunan saat penyambutan yang dimaksud keonaran, tidakkah diusut siapa pelaku provokatif agar massa berkumpul menyambut idolanya?

Bagaimana dengan kepala daerah yang ulang tahun dan mengumpulkan massa. Bagaimana dengan kerumunan massa yang mengantri BTS Meal di gerai McD? Mengapa tak dikategorikan membuat keonaran? Apa karena sudah meminta maaf? Padahal Habib Rizieq juga sudah meminta maaf.

Sebelas dua belas dengan kasus jaksa Pinangki. Seorang aparat hukum yang semestinya memberikan teladan dalam upaya supremasi hukum. Ternyata berlaku sebaliknya. Pinangki telah menerima suap dari seorang koruptor.

Pinangki dinilai melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Pasal 15 jo Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor (Kompas.com, 11/01/2021). Tak main-main, tiga pasal sekaligus.

Pinangki dinilai terbukti menerima suap, melakukan pencucian uang dan terlibat pemufakatan jahat terkait pengurusan fatwa di Mahkamah Agung  (MA). Hebat, tiga pelanggaran hukum dilakukan oleh seorang jaksa.

Vonis empat tahun penjara pun dijatuhkan untuk Pinangki. Empat tahun tersebut merupakan hasil diskon dari 10 tahun vonis semula. Alasan pemotongan masa tahanan karena Pinangki dinilai menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi serta mempunyai anak berusia empat tahun yang masih dalam masa pertumbuhan.

Keadilan menjadi barang mahal di negeri ini, jika tak mau dikatakan telah mati. Neraca keadilan pun telah rusak. Ia ditakar dengan tera yang tak standar, mengikuti kemauan dan pesanan sang oknum penentu keputusan.

Jika bicara kerugian negara, antara HRS dan Pinangki, jelas nyata bahwa Pinangki telah merugikan negara. Justru korupsi adalah ancaman nyata negeri ini. Sedangkan HRS, beliau hanya ulama yang rajin mengkritik pemerintah. Bisa jadi, kritik ini yang dianggap ancaman bagi penguasa yang hendak mengamankan kedudukannya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button