NASIONAL

Nikah Beda Agama Terulang, HNW Minta Hakim dengarkan MUI dan Ikuti Putusan MK

Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengingatkan Mahkamah Agung (MA) dan para Hakim untuk melaksanakan putusan MK dan mengindahkan sikap institusi dan ormas agama seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah berkaitan dengan terjadinya lagi perkawinan beda agama yang telah ditetapkan oleh hakim di beberapa pengadilan negeri.

Hal ini disampaikan merespon penetapan perkawinan pasangan beda agama oleh Hakim Pengadilan Negeri Pontianak. Penetapan serupa juga pernah dilakukan oleh sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, PN Yogyakarta, dan PN Tangerang, yang juga sudah dikritisi dan ditolak oleh MUI dan lainnya.

HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa MUI dan Muhammadiyah di dalam berbagai kesempatan – termasuk dalam persidangan judicial review berkaitan perkawinan beda agama di Mahkamah Konstitusi – telah berulangkali mengungkapkan tidak dibolehkannya perkawinan beda agama berdasarkan aturan agama Islam dan UU Perkawinan.

“Ini seharusnya yang menjadi pegangan oleh hakim PN yang berada di bawah MA, apabila menghadapi permohonan “pengesahan” perkawinan beda agama, dimana salah satu pasangannya bergama Islam,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (27/12/2022).

“Dan dengan MA mengindahkan pendapat MUI dan Muhammadiyah, juga putusan MK, maka MA perlu menertibkan para hakim di bawah lingkungan kewenangan MA, agar terjadi tertib hukum dan tidak terulang kembali masalah itu yang berulangkali meresahkan masyarakat, serta tidak terjadi lagi laku hukum yang tidak sesuai dengan norma hukum tertinggi (UUD) dan Agama yang diakui di negara hukum Indonesia,” tuturnya.

Selain itu, HNW menegaskan bahwa UUDNRI 1945 mengakui adanya perkawinan yang sah, dan itu adalah yang sah menurut ajaran agama. Hal demikian itulah yang sesuai dengan Hak asasi manusia yang dijamin dan diperbolehkan oleh UUD NRI 1945, yakni Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2). Inilah yang menjadi rujukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menolak berbagai permohonan uji materi UU Perkawinan yang ingin melegalkan perkawinan beda agama.

“Oleh karenanya, para Hakim seharusnya merujuk kepada berbagai putusan MK tersebut, di antaranya putusan No. 06/PUU-XII/2014, karena putusan MK oleh UUDNRI 1945 dinyatakan sebagai bersifat final dan mengikat, termasuk dan terutama kepada atau untuk para penegak hukum, sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Itu semua dipentingkan demi keadilan dan tertib hukum di NKRI yang dinyatakan sebagai negara hukum oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” tukasnya.

Lebih lanjut, HNW menambahkan agar umat beragama, Umat Islam dllnya, yang akan menikah, hendaknya memahami hukum agama Islam atau agama lain yang dianutnya terkait dengan perkawinan, juga memahami UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia yang jelas tidak membolehkan adanya perkawinan beda agama.

“Para orangtua juga mestinya mengingatkan atau mendidik anak-anaknya agar tidak salah memilih calon suami/istrinya, agar pilihannya sesuai dengan ajaran agamanya (Islam atau yang lainnya), sehingga bisa menghadirkan masyarakat taat hukum dan keluarga yang sakinah mawaddah rahmah dan berkah,” tukasnya.

Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan ini memahami bahwa salah satu rujukan yang digunakan oleh hakim di PN adalah Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan’ adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.”

Namun, lanjutnya, hakim-hakim yang memutus perkara tersebut seharusnya tidak hanya melihat pasal itu secara sepotong dan letterlijk, apalagi dengan mengabaikan ketentuan UUD dan putusan MK. Harusnya demi keadilan dan kebenaran, para Hakim harusnya juga memperhatikan risalah pembahasan RUU Adminduk untuk memahami original intent atau maksud asli ketentuan tersebut.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button