Oligarki itu Sampah Demokrasi
Segala yang berbau oligarki yang telah mengotori dan menodai partai, korporasi maupun negara, itu berarti sudah out of the box dari proses dan atau keniscayaan politik demokratisasi. Alias, status dan eksistensinya sudah menjadi tidak lebih hanya menjadi sekedar limbah atau sampah demokrasi.
Ini awal-mula yang menggejalai dan menandai pemerintahan kepemimpinan Jokowi nyaris selama satu dekade ini. Gegara salah jalan pilihan politik berhutang kepada oligarki dengan menggadaikan tahta singasananya yang “tanggung rente”-nya akibatnya sungguh tak terbatas, tak terkirakan. Tidak saja telah “menguras dan memeras” APBN, PDB, bahkan SDA-nya.
Maka, sistem demokrasi yang selalu menjadi “anak emas” dari sistem Presidensial yang hanya satu-satunya dianut konstitusi UUD 1945 selama ini. Oleh Jokowi telah dibuat mati suri. Berganti menjadi nyaris “sempurna” negara oligarki yang melahirkan dan mengantarkan sistem otoritarianisme.
Jokowi lah, boleh dibilang Presiden sipil pertama dalam sejarah Republik ini berdiri yang menjalankan sistem pemerintahannya secara otoriter.
Untungnya, saat era reformasi menandai era bubarnya Orde Baru —menjadi semacam blessing in disguise dari UUD 1945 hanya satu-satunya pasal esensial dan substansial yang diamandemen: membatasi masa jabatan Presiden hanya 2 (dua) kali periode saja.
Jika tidak? Rezim penguasa Jokowi yang baru dua periode masa jabatan saja sudah menggejala menjadi pemerintahan otoritarianisme-otoriter.
Bagaimana jika lebih? Jokowi akan menciptakan pemerintahannya menjelma menjadi negara oligarki yang sempurna, yang sesungguhnya. Artinya, telah memutus urat leher kedaulatan negara yang seharusnya berada di tangan rakyat.
Itulah kenapa berhentinya pemerintahan Jokowi pada 2024 nanti —merupakan perintah hukum konstitusional yang mutlak harus ditaati. Tetapi, legacy buruknya sudah pasti akan meninggalkan banyak limbah atau sampah demokrasi.
Yang namanya limbah atau sampah itu haruslah dibersihkan, dibuang dan disingkirkan serta dimusnahkan karena sudah sesuatu yang useless, tak berguna lagi.
Makanya, akan sangat ironis dan terlalu naiflah, ketika menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 ini masih ada upaya-upaya dari anasir-anasir kekuatan oligarki melalui komponen pendukungnya yang ingin mempertahankan “legacy” Jokowi dengan melakukan banyak dan pelbagai cara rekayasa ”proxy setting”, yang sesungguhnya akan sia-sia dan percuma saja.
Artinya, itu hanya bak peribahasa “menyimpan bangkai dalam karung” bau limbah atau sampahnya cepat atau lambat bakal kecium dan ketahuan juga, seperti: