#Menuju Pilpres 2024RESONANSI

Oligarki itu Sampah Demokrasi

Upaya-upaya memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode dan itu sudah sangat kencang dan terus-menerus seringkali didengungkan.

Padahal, itu propaganda yang seharusnya ditabukan — jika tak mau disebut menyesatkan —yang sesungguhnya amat terlarang karena akan menabrak konstusional. Beresiko bagi Jokowi sebagai pelanggaran hukum pidana berat sepadan dengan tindak kejahatan kudeta dan atau terorisme.

Atau ”proxy setting” lainnya, sebagai pernyataan “wacana abal-abal” yaitu penundaan Pemilu dan Pilpres 2024.

Padahal, itu menjadi hal yang mustahil dikarenakan tak adanya alasan yang korelatif dan relevan dengan situasi dan kondisi yang bersifat kedaruratan yang sangat signifikan dan mendesak yang telah dan atau tengah melanda Indonesia.

Namun, betapa begitu tingginya ambisi oligarki untuk mempertahankan Jokowi itu justru menjadi simbol yang menunjukkan semakin tingginya tensi kebingungan dan kepanikan Jokowi juga:

Keringat kegalauan dan keresahannya itu sampai merembes ke “ruang rekayasa” bagaimana sampai melakukan upaya men-“duplikasi” tahta kekuasaannya dengan menciptakan hereditas, koloni, kroni, trah, hingga “political puppets” yang akan dimainkannya berkonspirasi dan berkolusi lagi —mengulang cara lama— berkoalisi dengan partai-partai eks-oligarki yang sesungguhnya harus disadari oleh mereka itu bahwa mereka itu sesungguhnya sudah tidak memiliki daya jual lagi, tidak laku dan tidak mendapat simpati rakyat lagi.

”Proxy setting” dalam menggalang partai dan atau gabungan partai itu, Jokowi bersama bonekanya Ganjar Pranowo sudah gagal lebih awal ketika berupaya mengobok-obok PDIP.

Misi “obok-obok” Jokowi itu berkeinginan sebisanya menggantikan Megawati Soekarnoputri dari Ketua Umum untuk dirinya. Sedangkan, Ganjar Pranowo sang boneka sebagai bacapres.

Peluang itu dimungkinkan dikarenakan PDIP yang memang tengah dilanda menghadapi masalah serius krisis keterpurukan elektabilitas baik di partai maupun bacapresnya hingga saat ini.

Tetapi, Jokowi —yang tak disadari oleh Megawati sudah beralih profesi menjadi dari “petugas partai” ke “petugas oligarki” itu, tetap tak mampu menggoyahkan PDIP yang berpegang bersikukuh pada kultur partai yang berakar pada kekuatan trah Soekarnoisme itu.

Namun, ironisnya “The Grand Mother” Ketum PDIP —The Champion Party di 2014 dan 2019 ini—apakah karena sudah semakin ujur dan cenderung semakin pikun Megawati membuat pernyataan-pernyataan “tak cerdas” yang bisa menjadi blunder bagi dirinya sendiri seringkali “nyeleneh dan nyinyir”, seperti: menyalahkan kebiasaan Ibu-Ibu memasak dengan minyak goreng ketika ada masalah kelangkaan minyak goreng; tak mau bakal mantu yang menjadi tukang bakso; atau menyalahkan kebiasaan Ibu-Ibu yang mengikuti pengajian dibandingkan dengan pengasuhannya terhadap anak-anaknya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button