SUARA PEMBACA

Pak Menteri, Kemiskinan Kita Sistemik Bukan Karena Pernikahan Sesama Si Miskin

“Sesama keluarga miskin besanan kemudian lahirlah keluarga miskin baru.”

Pernyataan kontroversial Bapak Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, tentang lonjakan angka kemiskinan selama pandemik menuai protes publik. Tidak hanya melukai rakyat kecil, tapi juga seolah menjadikan si miskin kambing hitam melonjaknya angka kemiskinan. Faktanya, kemiskinan yang terjadi merupakan kemiskinan sistemik akibat diterapkannya ekonomi kapitalisme.

Sebagaimana diberitakan cnnindonesia.com, 4/8/20202, dalam sebuah webinar yang digelar oleh Kowani, Muhadjir Effendy mengatakan jumlah rumah tangga miskin saat ini mencapai sekitar 5,7 juta keluarga yang tersebar di seluruh Indonesia. Ia menyebut jumlah rumah tangga miskin terus meningkat lantaran keluarga miskin menikah dengan keluarga miskin lain, sehingga memunculkan rumah tangga miskin baru.

Pak Menteri, sejatinya pernyataan Anda tidak hanya menuai kontroversi dan menyakiti rakyat kecil. Pernyataan Pak Menteri juga menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menuntaskan problematika kemiskinan yang membelit negeri ini. Menjadi rahasia publik, kemiskinan menjadi masalah pelik di negeri ini.

Asal Pak Menteri tahu, sebelum pandemik, angka kemiskinan sudah tinggi. Saat pandemik, angka kemiskinan semakin melonjak tinggi. Sebaliknya pendapatan masyarakatlah yang justru menurun drastis. Maraknya PHK, langka dan mahalnya harga pangan, resesi ekonomi yang menghantam, pajak dan iuran yang mencekik rakyat dan kebijakan plin-plan yang membingungkan rakyat, merupakan sederet daftar panjang pemicu lonjakan angka kemiskinan.

Solusi tambah sulam ala kapitalisme belum terbukti mengentaskan kemiskinan. Kapitalisme justru terbukti memandulkan peran dan fungsi negara. Menjadikan negara berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan kapitalis global. Tidak heran jika berbagai kebijakan dan undang-undang digolkan demi melayani kepentingan tuan-tuan kapitalis. Sebaliknya, berbagai kebijakan zalim ditimpakan kepada rakyat, yang membuat rakyat semakin melarat dan sekarat.

Distribusi kekayaan yang tidak merata membuat rakyat miskin semakin miskin. Lihatlah bagaimana sumber daya alam dirampok secara terang-terangan dalam naungan UU Minerba. Bagaimana listrik diliberalisasi lewat UU Kelistrikan. Bagaimana subsidi dicabut demi persaingan bisnis. Bagaimana kran impor dibuka secara jor-joran demi kepentingan tuan kapitalis. Terang saja, berbagai kebijakan dan undang-undang tersebut membuat kenyang perut para kapitalis. Sementara rakyat kecil mengais rejeki di bawah sengatan matahari sebagai jongos di negeri sendiri.

Jadi Pak Menteri, sejatinya bukan pernikahan si miskin yang melahirkan kemiskinan baru. Namun, kapitalismelah yang menjadi biang kerok kemiskinan atas negeri ini. Kemiskinan kita bukan tentang kemiskinan biasa, tapi kemiskinan sistemik yang berdampak luar biasa.

Kemiskinan yang lahir dari diterapkannya sistem kapitalisme dan derivatnya yang rusak dan merusak. Kemiskinan yang lahir sebagai cacat bawaan kapitalisme. Sehingga tidak akan mampu dituntaskan, selama sistem rusak dan merusak ini tegak atas negeri kita tercinta.

Pak Menteri, mengentaskan kemiskinan sistemik tidak akan mempan dengan solusi parsial. Dibutuhkan solusi sistemik dan komprehensif, yang mampu mencabut akar masalah kemiskinan. Jika kapitalisme terbukti gagal menyelesaikan problematika kemiskinan. Biarlah Islam yang menyelesaikannya hingga ke akarnya.

Paradigma Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Maka semestinya menjadi kewajiban negara menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya.

Dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat, negara tidak hanya mendorong setiap kepala keluarga untuk mencari nafkah sesuai kewajibannya. Namun juga, membuka lapangan pekerja seluas-luasnya untuk rakyat. Selain itu, negara juga berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya yang tidak mampu bekerja dan tidak ada ahli waris yang mampu menafkahinya.

Rakyat pun tidak disulitkan dengan masalah pendidikan dan kesehatan. Sebab menjadi kewajiban negara pula untuk menjamin dan menyediakan kebutuhan dasar rakyat atas pendidikan, kesehatan dan keamanan secara langsung dalam bentuk pelayanan umum.

Pelayanan umum ini terselenggara dari hasil pengelolaan kekayaan SDA oleh negara. Yang mana hasilnya diperuntukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Bukan untuk diliberalisasi demi kepentingan dan pundi-pundi uang milik asing/swasta.

Inilah solusi Islam dalam mengentaskan kemiskinan. Tentunya, ini dapat segera terwujud jika Pak Menteri mau mengambil Islam sebagai solusi dan menerapkannya dalam seluruh lini kehidupan dalam bingkai negara.

Pak Menteri juga wajib mencampakkan kapitalisme yang menjadi biang kerok kemiskinan. Sebab berharap pada sistem rusak kapitalisme hanya akan melahirkan problematika yang jelas menambah jumlah angka kemiskinan baru.

Jelas ya, Pak Menteri, kemiskinan kita itu kemiskinan sistemik. Bukan sekadar karena pernikahan si miskin. Jangan jadikan rakyat kecil jadi kambing hitam, ah! Jadi, daripada Pak Menteri pusing cari solusi yang tidak solutif. Wes yakin saja Islam satu-satunya solusi hakiki. Wallahu’alam bishshawwab.

Jannatu Naflah
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masyarakat

Artikel Terkait

Back to top button