Pelajaran dari Bangsa-Bangsa yang Dimusnahkan
Kemudian tiga abad setelahnya, ada kaum Tsamud yang diberkahi keterampilan mendirikan rumah-rumah di pegunungan, kekayaan alam, dan letak yang strategis yaitu terletak di jalur perdagangan antara Suriah dan Yaman. Semua itu membuat mereka sombong dan menantang azab Allah Ta’ala dengan menyembelih unta betina yang dibawa oleh Saleh AS.
Begitu pula dengan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah Azza wa Jalla karena mengaku diri sebagai Tuhan akibat kekuasaan yang digenggamnya. Dia bukan sebuah bangsa, tetapi ia adalah orang mewakili bangsanya. Dia mati dalam keadaan terhina dan sampai sekarang dijadikan ikon kezaliman, kekejaman, dan keserakahan.
Dalam peristiwa pembinasaan bangsa Tsamud, bangsa ‘Ad, dan menenggelamkan Fir’aun, Allah tidak memerlukan banyak pasukan dan kekuatan militer. Cukup menggunakan angin untuk membinasakan kaum ‘Ad, gempa dan petir untuk membinasakan bangsa Tsamud, dan air laut untuk menenggelamkan Fir’aun.
Ini memberi tahu kita, bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membenci dan berkehendak untuk “menyapu bersih” bumi dari bangsa yang zalim, maka sangat mudah untuk melakukannya. Allah Al-Aziiz melakukannya sendiri. Tak butuh tentara dan pasukan, tak butuh sekutu; bahkan hanya dengan seekor nyamuk, Dia membinasakan seorang Namrud.
Empat Pelajaran
Dalam surat Al-Fajr ini ada empat perbuatan yang membuat mereka, bangsa-bangsa yang kuat dimusnahkan oleh Allah:
Pertama: Cara pandang yang salah terhadap dunia dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam menjalani dunia ini, janganlah pernah menjadikan dunia sebagai standar. Dalam ayat ke-15 dan 16 surat Al-Fajr ini, digambarkan bagaimana mereka menjadikan materi sebagai kacamata dalam melihat kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manakala materi sedang berlimpah, badan sehat, dan kekuasaan besar, mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala sedang memuliakan mereka.
Sedangkan manakala mereka sedang tidak banyak uang, diabaikan orang, dan badan sakit-sakitan; mereka mengatakan hal yang buruk yaitu mereka sedang dihinakan Allah Azza wa Jalla.
Cara berpikir yang salah ini jelas berasal dari keyakinan yang juga salah. Salah menempatkan Allah dalam kalbu dan jelas bermasalah dalam keimanan.
Hal ini biasanya juga berawal dari pendidikan yang salah, baik itu pendidikan di rumah, di sekolah, maupun lingkungan. Dimana seorang anak dari sedari kecil diajari untuk hidup semata demi materi. Demi prestise dan demi capaian duniawi. Ironisnya, inilah menjadi landasan pendidikan banyak bangsa di muka bumi.