Pemerintah Diminta Jalankan UU tentang Kekarantinaan Kesehatan
Jakarta (SI Online) – Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan penyebaran virus COVID-19 sebagai pandemi global. Status ini menurut Juru Bicara PKS Ahmad Fathul Bari sudah cukup untuk Indonesia memberlakukan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Fathul, Pasal 1 angka 1 UU No. 6/ 2018, yang dimaksud kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 6/ 2018 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
“Maka, sudah jelas bahwa penyebaran virus corona dapat dikategorikan sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, sehingga pemerintah memiliki alasan untuk melakukan karantina di wilayah Indonesia dengan menjalankan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” papar Fathul dalam keterangannya yang diterima Suara Islam Online, Selasa (24/3/2020).
Fathul menyebut, Jokowi perlu segera menerapkan UU tersebut karena sudah mengatur secara detail tentang banyak hal yang terkait dalam penanganan wabah seperti sekarang, antara lain mengatur tentang tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hak dan kewajiban, Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk, penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di wilayah, Dokumen Karantina Kesehatan, sumber daya Kekarantinaan Kesehatan, informasi Kekarantinaan Kesehatan, pembinaan dan pengawasan, penyidikan, dan ketentuan pidana.
“Presiden PKS dalam berbagai kesempatan sudah mendorong adanya lockdown, setidaknya secara parsial, terutama di daerah terdampak. Bahkan jika merujuk pada UU No. 6 Tahun 2018, lockdown menjadi bagian dalam UU tersebut dan bisa dianggap sebagai Karantina Wilayah (dalam Pasal 1 angka 10),” terang Fathul.
Ia juga mendorong UU ini dilaksakan agar hak masyarakat bisa dijamin oleh Pemerintah.
Misalnya, ujar dia, dalam Pasal 7 UU No. 6/ 2018 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Kemudian dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa setiap orang juga mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.
Ia juga menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar juga merupakan salah satu tindakan kekarantinaan kesehatan yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 yang kemudian menegaskan hal apa saja yang dapat dibatasi sesuai UU, yakni dalam Pasal 59 Ayat 3 yang menerangkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
“Jadi melaksanakan UU ini adalah bentuk dari perwujudan sumpah Presiden yang bersumpah memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa,” papar dia.
“Jika UU No. 6 Tahun 2018 tidak dijalankan, maka Presiden bisa berpotensi melanggar konstitusi,” imbuh Fathul.
red: adhila