Pemerintah Gagal Jaga Ekosistem Bisnis Usaha Tani
Masalahnya, bagaimana kita meningkatkan insentif bagi petani? Saya melihat, di sinilah kita perlu meningkatkan ‘human capital’ petani, terutama terkait kemampuan entrepreneurship mereka. Petani kita harus dididik bukan hanya mengenai teknik dan teknologi baru pertanian, yang bersifat ‘on farming’, melainkan juga strategi usaha tani, yang bersifat ‘off farming’.Pemerintah harus memberdayakan kembali para penyuluh pertanian. Para penyuluh harus diberdayakan dengan perspektif baru, yaitu penyuluhan usaha tani. Kita harus mengubah perspektif pembangunan pertanian kita dari orientasi subsisten menjadi orientasi komersial. Petani harus dididik menjadi pengusaha.
“Tugas pemerintah, selain memberikan penyuluhan dan pelatihan, adalah menciptakan ekosistem bisnis pertanian yang kondusif, baik di level input maupun di level output. Di level input, misalnya, penting sekali Pemerintah memberikan subsidi. Misalnya di bidang peternakan, karena konsumsi daging kita masih rendah, maka Pemerintah harus memperhatikan betul industri peternakan.
Menurut data yang saya pegang, tingkat konsumsi daging kita memang masih tergolong rendah, hanya 11,6 kilogram per kapita per tahun. Jangan jauh-jauh membandingkan konsumsi daging kita dengan Amerika dan Australia, yang masing-masing mencapai 120 kg dan 111 kg per kapita per tahun, karena angka konsumsi kita masih jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Malaysia, yang konsumsinya mencapai 52,3 kg, Filipina yang konsumsinya mencapai 33 kg, atau bahkan Thailand yang konsumsinya mencapai 25,8 kg.
Ada dua isu kenapa konsumsi daging kita masih rendah, yaitu harga dan masalah ketersediaan. Untuk menutupi dua persoalan itu, harus ada subsidi bibit ternak sapi dan domba, atau kambing, untuk menggiatkan kembali peternakan rakyat, selain tentunya mendukung peternakan berskala industrial. Untuk konteks peternakan ayam, yang harus dikontrol oleh pemerintah adalah harga dan suplai pakan, agar industri ayam petelur kita tidak rontok.
Begitu juga dengan sektor perberasan. Ada beberapa kebijakan Pemerintah yang menurut saya perlu dikoreksi. Misalnya, kebijakan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) harus segera diubah menjadi Harga Dasar, agar Bulog bisa kembali berperan sebagai badan penyangga pangan. Selama ini kebijakan HPP telah membatasi fungsi Bulog dan menjadikan petani tak punya posisi tawar.
Yang tak kalah penting untuk menjaga agar ekosistem bisnis usaha tani tetap berjalan adalah reforma agraria. Inilah yang gagal dijalankan oleh pemerintahan sekarang ini. Meskipun saat kampanye dulu disebutkan akan mendistribusikan lahan seluas 9 juta hektar dan menyediakan 12,7 juta hutan kelola rakyat lewat sistem perhutanan sosial sampai 2019, namun realisasinya sangat jauh. Bagaimana bisa agenda reforma agraria berjalan, jika pemerintah sendiri baru merilis Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria sesudah empat tahun berjalan. Itu benar-benar tidak menunjukkan komitmen serius melaksanakan agenda reforma agraria.
Untuk menutupi kegagalan itu, Pemerintah memberikan hiburan kepada rakyat melalui kegiatan bagi-bagi sertifikat langsung oleh Presiden, seolah itulah program reforma agraria. Padahal, program sertifikasi dan legalisasi tanah melalui Prona itu sebenarnya telah ada sejak tahun 1981. Dan Prona sebenarnya tidak tepat disebut sebagai bagian dari reforma agraria. Tidak pantas Pemerintah mengklaim program bagi-bagi sertifikat tadi sebagai bentuk reforma agraria.