OPINI

Pemerintah Gagal Jaga Ekosistem Bisnis Usaha Tani

Sebagai negara agraris, kebijakan bidang pertanian kita tak memiliki konsep dan konsistensi yang jelas. Itu sebabnya isu-isu pertanian di Indonesia masih tetap didominasi oleh wacana subsistensi, seperti ketahanan pangan dan sejenisnya. Janji untuk swasembada pangan tak tercapai, impor semakin dominan terutama untuk beras, gula, jagung, sampai garam.

Secara garis besar, menurut saya ada dua masalah yang membuat kenapa sektor pertanian kita terus-menerus terbelenggu, tak mencapai banyak kemajuan. Pertama adalah soal konsep. Dan kedua adalah soal konsistensi. Terkait dengan konsep, kita tak pernah memiliki desain kebijakan pembangunan pertanian yang komprehensif. Padahal, pertanian adalah tulang punggung negara kita, karena sebagian besar rakyat kita bekerja di sektor ini. Jika kita gagal merumuskan konsep kebijakan yang tepat, maka negara ini bisa ambruk.

Namun, di sisi lain, konsep yang bagus saja tak cukup. Meskipun kita punya konsep bagus, misalnya, tapi jika tidak diimplementasikan secara konsisten, juga tak akan ada hasilnya. Itu sebabnya, menurut saya, konsep dan konsistensi adalah kata kunci keberhasilan. Ini yang saya lihat tidak ada dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Misalnya terkait kebijakan harga pangan, apa sebenarnya orientasi kita? Apakah harga murah untuk konsumen, ataukah kemakmuran petani produsen? Jika orientasinya harga murah, maka kebijakan impor pangan jorjoran mungkin harus diterima. Tapi, akibatnya kan petani produsen kita bisa mati?! Sebaliknya, jika orientasinya adalah kemakmuran petani produsen, berarti kita harus memberikan ruang toleransi yang cukup bagi petani untuk mendapatkan insentif. Jangan tiap kali petani mendapatkan harga bagus, langsung ditutup dengan impor.

Jikapun impor pangan tidak bisa dihindari, tetap saja ada satu prinsip yang tidak boleh dilanggar oleh sebuah negara agraris, yaitu jangan sampai impor itu merugikan petaninya sendiri. Inilah yang tidak saya lihat dijalankan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dalam kasus impor gula, misalnya, tahun ini pemerintah telah menerbitkan izin impor sebesar 3,6 juta ton GKR (Gula Kristal Rafinasi). Jumlah izin tersebut sangat aneh, sebab kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri kita hanyalah sebesar 2,4 hingga 2,5 juta ton GKR saja. Ujungnya, kebijakan ini jelas merugikan para petani tebu kita.

Menurut saya, sebagai negara agraris, orientasi pembangunan kita mestinya kemakmuran petani. Kegairahan produksi, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi, harus didesain sebagai konsekuensi adanya rangsangan insentif bagi petani. Maksudnya, jika petani produsen mendapatkan insentif menarik, dari pengalaman sejarah, produksi komoditas otomatis akan bertambah kok.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button