LAPORAN KHUSUS

Rezim Gagap Bencana

Penanganan bencana di era Jokowi dinilai amatiran, tidak sistematis dan amburadul. Bencana gempa NTB dan Sulteng sebagai buktinya.

Usai Maghrib, Muhammad Aris, warga Desa Jono Age, Kabupaten Sigi, berencana untuk menjual hasil kebunnya ke kota Palu. Sayang, rencana itu akhirnya batal. Gempa berkekuatan 7,4 SR lebih dahulu mengguncang Sulawesi Tengah, Jumat 28 September sore.

Bukan hanya terguncang, desa tempat tinggal Aris, ikut ambles, lenyap akibat likuifaksi (tanah bergerak). Masih beruntung, posisi Aris berada sekitar satu meter dari lahan yang ambles petang itu. Sebagian rumahnya roboh.

Saat gempa melanda, kata Aris, istrinya yang tengah hamil berada di kamar mandi. Sementara ibunya yang menderita stroke selama 11 tahun, tengah duduk di beranda.

“Saya selamatkan ibu saya yang duduk duduk di teras, karena lihat menara sudah jalan (bergeser). Istri ikut memegang saya, kami lari hingga Desa Sidera,” ungkap Aris.

“Saya sampai tak bisa rasakan tangan saya, karena membopong ibu,” kata dia. Aris, seperti dilansir BBC Indonesia, akhirnya berhasil menggendong ibunya ke tempat pengungsian.

Kini bila dilihat dari udara, salah satu wilayah di Jono Oge nampak seperti rawa-rawa. Padahal, dulunya lokasi permukiman. Saat gempa melanda, warga melihat tanah di daerah ini bergerak, berputar, dan bergeser. Diperkirakan ada 366 bangunan yang rusak. Area yang terdampak sekitar 202 hektare.

Belakangan diketahui Jono Oge adalah satu dari tiga wilayah yang mengalami likuifaksi. Dua wilayah lainnya berada di Kota Palu yakni Perumnas Balaroa, Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat dan Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan. Dibandingkan Balaroa dan Petobo, Jono Oge lebih sulit dijangkau karena terputusnya akses darat.

Namun, korban jiwa dan kerusakan bangunan di Balaroa dan Petobo jauh lebih banyak karena wilayah ini adalah permukiman penduduk. Di Balaroa, jumlah perkiraan bangunan rusak sebanyak 1.045 unit. Luas areal terdampak sekitar 47,8 hektar. Adapun di Petobo, jumlah perkiraan bangunan terdampak 2.050 unit, dan luas aeral terdampak 180 hektar. Di dua wilayah ini, menurut BNPB, lima ribu orang belum ditemukan.

Kondisi Perumnas Balaroa yang terkena likuefaksi.

Benar-benar Tsunami

Jumat petang Waktu Indonesia Barat, 28 September 2018, beredar video tsunami tengah menerjang kawasan Pantai Talise, Palu. Nampak dalam video yang beredar, orang-orang berteriak, berlarian, sembari melafazkan asma Allah Swt. Mereka bertahmid, bertasbih, bertakbir dan beristighfar.

Malam harinya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwi Korita Karmawati dalam konferensi pers di Jakarta memastikan video tersebut benar adanya. Bahwa telah terjadi tsunami yang menghantam kawasan pantai Talise, Kota Palu dengan ketinggian hingga 1,5 meter akibat gempa yang mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah. Namun, kata Korita malam itu, air sudah surut.

Uniknya, bencana ini benar-benar terjadi pada sekitar pukul 17.36, hanya beberapa menit setelah peringatan tsunami di akhiri pada pukul 17.22.

Sesungguhnya, rentetan bencana yang berpuncak terjadinya tsunami itu dimulai sekitar pukul 13.59 di Donggala dengan gempa berkekuatan 5,9 SR. Kemudian terjadi lagi pada pukul 17.02 dengan kekuatan 7,4 SR. Di antara dua gempa besar itu, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi tiga gempa kecil.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyebutkan, gempa pertama berkekuatan 5,9 skala Richter dengan pusat gempa 2 km utara Kota Donggala pada kedalaman 10 km. Di sini, gempa tidak berpotensi tsunami. Sementara gempa sesudahnya pada pukul 17:02 terjadi 27 km timur laut Donggala, atau 80 km barat laut Palu, dan menimbukan peringatan tsunami.

Sesar Palu Koro

Gempa bumi di Donggala, Sulawesi Tengah, ini terjadi satu bulan setelah gempa dahsyat Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada Agustus 2018 lalu. Namun gempa di Lombok dan Donggala itu diklaim tidak berkaitan.

“Tidak ada hubungannya sama sekali antara gempa di Lombok dengan di Palu Koro tadi, di Donggala. Hal yang berbeda, mekanismenya berbeda, sumber-sumber gempanya juga berbeda. Dan kedua daerah, baik di Lombok maupun di Donggala di sini juga memiliki sumber-sumber gempa,” kata Kepala Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial, BMKG, Bambang Setiyo Prayitno, seperti dilansir BBC News Indonesia.

Menurut Prayitno, gempa di Donggala terjadi karena pergerakan sesar Palu Koro dan kondisi di Sulawesi lebih rumit karena ada pergerakan lempeng dari utara, selatan, dan timur. Menurutnya gempa di Donggala adalah “gempa bumi tektonik diakibatkan sesar Palu Koro, Selat Makasar”.

Prayitno mengungkap, pergerakan sesar Palu Koro telah menyebabkan gempa beberapa kali, antara lain meliputi gempa di Sulawesi Tengah pada 14 Agustus tahun 1968 dengan kekuatan 6 skala Richter, gempa di Sulawesi Tengah dengan kekuatan 7,8 pada 1 Januari tahun 1996, dan pada 14 Mei 1921 dengan kekuatan 6,3 skala Richter.

Gagap Bencana

Musibah bencana dalah kehendak Allah Swt, Dzat Penguasa Alam Semesta. Taka ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta tanpa kehendak dan perintah-Nya. Bagi kaum beriman, musibah bencana ini adalah ujian dan teguran (tadzkirah). Sementara bagi kaum kafir, bencana yang bertubi-tubi adalah azab dari Allah Swt.

BNPB, per 8 Oktober 2018 pukul 13.00 WIB merilis, jumlah korban meninggal dunia akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Sulteng meningkat menjadi 1.948 korban. Jumlah tersebut terdiri dari 1.539 korban dari Palu, 171 korban dari Donggala, 15 dari Parigi Moutong, dan satu korban dari Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Selain korban meninggal, BNPB juga mencatat terdapat 10.679 orang luka berat. Tercatat pula 835 orang hilang yang diperkirakan masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan akibat gempa dan tsunami.

Selain itu, jumlah warga yang mengungsi 74.444 orang di 147 titik. Dilaporkan pula, 65.733 rumah dan 2.736 sekolah rusak. Juga terdapat tujuh fasilitas kesehatan rusak berat, yang terdiri dari satu rumah sakit dan enam puskesmas.

Bencana gempa dan tsunami yang melanda kawasan Sulawesi Tengah ini hanya berselang sebulan setelah gempa dahsyat melanda Nusa Tenggara Barat (NTB). Artinya, belum selesai pengurusan korban gempa NTB, masyarakat dan pemerintah langsung dihadapkan pada persoalan korban gempa dan tsunami Sulteng.

Faktanya, menghadapi bencana yang datang bertubi-tubi ini nampak sekali sikap pemerintah. Gagap, bukan tanggap. Penanganan bencana amburadul. Indonesia telah berulangkali menghadapi bencana gempa dan tsunami, mulai dari Aceh, Nias, Mentawai, Yogya hingga Padang, tetapi tidak pernah terjadi seperti yang terjadi hari ini di era Jokowi.

Menurut Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) Jajat Nurjaman, dari waktu ke waktu koordinasi kepemimpinan Jokowi memang kurang baik.

“Mulai dari kegagalan menangani bencana Lombok NTB. Publik juga menilai kegagalan pemerintah menangani pemulihan keadaan pascagempa di Sulawesi Tengah. Diperparah banyaknya pernyataan kontroversial oknum pejabat pemerintah,” ungkap Jajat dalam keterangan tertulisnya, Kamis 4 Oktober 2018.

Betapa tidak, pascabencana, berita menggemparkan dari Palu, Sulteng, bukan tentang bagaimana penanganan para korban bencana. Melainkan ramai terjadi penjarahan terhadap minimarket, toko-toko, pusat perbelanjaan dan gudang minimarket di kota Palu. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, terjadi penjarahan di 40 gerai Alfamart dan satu gerai Hypermart di Kota Palu. Bukan hanya itu, juga pencegatan bantuan-bantuan logistik yang masuk ke kota Palu melalui jalur darat. Truk bahan bakar pun tak selamat dari jarahan massa.

Penjarahan terhadap toko-toko, yang bukan hanya toko makanan dan minuman, tetapi juga toko elektronik dan ban kendaraan, sontak menjadi sorotan media asing. Sebuah foto seorang laki-laki membonceng sepeda motor dengan mengenakan topi Sinterklas berhasil membawa sebuah TV LED berukuran besar menjadi viral di media.

Tindakan melawan hukum yang dipertontonkan warga ini, tak lepas dari instruksi keliru dan multitafsir yang diterima oleh mereka dari pejabat tinggi negeri ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

“Kita sudah perintahkan kepada minimarket Alfamart dan Indomaret bisa diambil barang-barangnya,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ahad (30/9).

Menurut Tjahjo, keputusan darurat menjarah minimarket tersebut dilakukan berdasarkan kondisi di lapangan yakni sulitnya warga memperoleh bahan makanan. Tjahjo mengklaim sudah memberikan kontak yang bertanggung jawab kepada manajemen minimarket. “Kami sudah tinggalkan kartu nama dan kami akan bayar itu semua,” tambah Tjahjo.

Hal senada disampaikan Menkopolhukam, Wiranto. Ia mengatakan, keputusan ini diambil setelah terjadi penjarahan di berbagai lokasi usai gempa mengguncang pada Jumat petang itu. “Ada satu kebijakan yang boleh ambil, dibayar oleh pemerintah. Jadi seperti itu mendapatkan air minum dan sebagainya,” ujar Wiranto.

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menyayangkan keputusan sepihak pemerintah tersebut. Lebih-lebih kebijakan itu dilakukan tanpa berkoordinasi dengan para pemilik usaha atau manajemen maupun menghubungi Aprindo sebagai asosiasi pengusaha toko modern.

“Keputusan ini tidak mendidik masyarakat di samping itu pemerintah seolah-olah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bertindak di luar tata krama, moral, etika, multi tafsir dan kurang berbudaya,” tegas dia.

Setelah mendapatkan kecaman yang luar biasa di media massa dan media sosial, Tjahjo pun akhirnya meralat pernyataannya. Tidak begitu (sebenarnya) berita yang ditulis,” kata Tjahjo melalui keterangan tertulis, Ahad (30/9/2018), seperti dilansir Kompas.com.

Keesokan harinya, Tjahjo juga membantah bila pemerintah akan membayari barang-barang yang diambil oleh warga. “Saya kira kalau ada berita memelintir semua (toko yang barang dagangannya diambil) dibiayai pemerintah, tidak,” kata politisi PDIP itu seperti dilansir Suara.com, Senin (01/10).

Lebih parah lagi, sikap Mendagri dan Menkopolhukam yang seolah-olah mengizinkan terjadinya penjarahan itu, seolah-olah dibenarkan oleh Kapolri dan Presiden. Kapolri menyebut penjarahan itu terjadi karena masyarakat merasa lapar. “Bukan penjarahan, mereka itu lapar,” ujarnya di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (1/10/2018) dikutip detikcom.

Sementara Jokowi menyebut aksi penjarahan itu sebagai masalah kecil. Ia meminta masalah yang kecil agar tak dibesar-besarkan lantaran dalam kondisi darurat. “Dalam keadaan darurat jangan mempermasalahkan hal yang kecil yang sebetulnya tidak jadi masalah dasar,” ujar Jokowi di Monumen Pancasila, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Senin (1/10/2018) seperti dilansir Republika Online.

Palu Normal Sepekan?

Jokowi menargetkan kegiatan di Palu, Sulteng, akan kembali normal dalam tempo satu pekan. Jaringan listrik, telekomunikasi, dan bandara pun akan dipulihkan secara bertahap.

“Dalam seminggu akan diselesaikan, sehingga normal kembali, kehidupan sehari-hari masyarakat di sana. Memang problem-problem ini baru sehari dua hari, sehingga semuanya kaget, syok, memang harus kita selesaikan,” kata Jokowi di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Senin (1/10), seperti dikutip CNN Indonesia.

Tentu saja target itu meleset. Jangankan beraktivitas normal, masyarakat korban bencana hingga hari ini masih banyak yang belum terjangkau dan belum mendapatkan bantuan pemerintah. Dalam hal bantuan, pemerintah pusat melalui Mendagri Tjahjo Kumolo malah mengeluarkan instruksi melalui radiogram agar para kepala daerah menyisihkan anggaran bencana di daerahnya masing-masing untuk membantu korban gempa Palu dan Donggala, Sulteng.

Hingga hari ini, tercatat, Pemprov DKI terbesar dalam mengirimkan bantuan ke Sulteng. Gubernur Anies memberangkatkan 83 personel terlatih beserta bantuan senilai Rp60 milyar.

Bantuan yang datang secara massif justru datang dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan lembaga kemanusiaan Islam. Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini distigma sebagai organisasi kekerasan, justru berada di front terdepan dalam membantu korban bencana. Sejak hari pertama bencana, FPI bersama relawan Wahdah Islamiyah, ACT, Rumah Zakat dan IZI sudah berjibaku melakukan evakuasi mayat dan membantu logistik warga. Dari partai politik, relawan Kepanduan PKS dan Garda 08 (pendukung Prabowo Subianto), tercatat menjadi yang pertama terjun ke wilayah bencana Sulteng.

Adalah fakta bila pemerintahan Jokowi tidak mampu melakukan recovery terhadap wilayah-wilayah yang mengalami bencana secara sistematis dan terorganisir. Sementara Wapres JK yang teruji dalam pemerintahan SBY, justru kurang nampak peran strategisnya. Bukan hanya di Sulteng, tetapi juga di NTB.

Sikap lamban pemerintah ini menuai kritik di media massa. Di Mataram, harian lokal Lombok Pos menurunkan berita dengan headline “Janji Presiden tak Semanis Realisasinya”(14/09), “Korban Gempa Terpaksa Ngutang” (29/9) dan “Janji Pusat Nyaris Palsu” (05/10). Media daring SUARANTB.com pada 25/09 menulis berita dengan judul “Gubernur Pertanyakan Kejelasan Dana Bantuan Bencana ke BNPB.”

Judul-judul berita ini diturunkan karena Jokowi berjanji akan memberikan bantuan hingga Rp50 juta untuk memperbaiki rumah warga yang rusak berat akibat gempa Lombok. Apalagi ditambah pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang menyatakan bila pemerintah telah mengucurkan bantuan Rp1,9 triliun untuk menangani gempa Lombok. Faktanya, kabar tersebut hoaks.

“Itu berita bohong. Saya sudah dua kali ke Lombok bahkan bertemu DPRD Lombok Utara. Belum ada realisasi 50 juta per KK. Baru diprint di buku tabungan 1400 KK sementara 17.000 KK lain yang harusnya penerima di buku pun belum ada. Apalagi rumah, hoax,” tulis Wakil Ketua DPR Fadli Zon melalui akun twitter, Ahad (07/10).

Tentang pernyataan Sri Mulyani, Wakil Ketua DPR Bidang Kesra Fahri Hamzah, mengaku telah mengundang pejabat terkait di Kemenkeu dan Kementerian lain melalui Focus Group Discussion (FGD) pada Kamis (04/09). Dalam FGD tersebut terungkap bila pihak Ditjen Anggaran Kemenkeu menyatakan salah input, karena Rp1,9 triliun itu termasuk dana rutin PKH dan Rastra Kemensos, bukan murni bantuan bencana.

“Terlihat betapa rapuhnya sistem olah data pemerintah. 1,9 triliun telah dikucurkan ke NTB menghiasi berita nasional, tak pernah ada klarifikasi bahwa itu tidak benar. Tindakan yang sangat merugikan warga NTB karena menganggap NTB sudah tertangani dengan anggaran yang besar, padahal nihil,” tulis Fahri di akun twitter dan web resminya, fahrihamzah.com. [shodiq ramadhan/dbs]

Artikel Terkait

Back to top button