OPINI

Pemerintahan Transisional Solusi Konstitusional Atas Krisis Pemerintahan

Pemerintahan transisional (interim government) merupakan salah satu solusi konstitusional yang paling banyak dan efektif dipilih untuk menyelesaikan krisis pemerintahan atau kebuntuan politik di berbagai negara, baik yang menganut sistem presidensial, maupun parlementer.

Umumnya, pemerintahan transisional diberi tugas utama untuk menyelenggarakan pemilihan umum sebagai solusi permanen untuk menyelesaikan krisis pemerintahan, dan diberi kewajiban tidak ikut sebagai peserta pemilihan umum. Dengan demikian, pemerintahan transisional dapat bertindak obyektif, netral, dan jujur dalam menyelenggarakan pemilu.

Meskipun tidak dinyatakan secara jelas, baik secara konstitusional atau legal, Indonesia pernah memiliki dan mempraktikkan pemerintahan transisional, yaitu rezim Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sebagai Presiden Indonesia ketiga yang sebagai dilantik sebagai Presiden ketiga pada 21 Mei 1998, menggantikan Presiden Soeharto.

Meskipun mengusung program utama reformasi konstitusional di segala bidang, ternyata pemerintahan Habibie terus dihadang demonstrasi berkelanjutan sebagai pertanda krisis politik dan krisis kepercayaan rakyat, yang menyebabkan pemerintahan Habibie tidak berfungsi efektif dan maksimal.

Demontrasi berkelanjutan merupakan pertanda krisis politik dan krisis pemerintahan yang secara umum membelah rakyat rakyat Indonesia ke dalam dalam dua kubu. Kubu pertama kelompok yang menganggap Habibie sebagai Presiden yang diangkat secara san dan konstitusional sehingga Habibie merupakan Presiden berhak menjadi Presiden Indonesia dengan masa jabatan selama 5 tahun ex Pasal 7 UUD 1945 Awal. Kubu kedua, menganggap pengangangkatan Habibie inkonstitusional, dan menganggap Habibie merupakan kelanjutan rezim Soeharto yang otoriter. Terlepas dari pengubuan tersebut, yang pasti krisis politik tersebut telah menjadi kendala efektifitas pemerintahan Habibie.

Menyikapi dan untuk mengatasi demontrasi yang berkelanjutan tersebut, Habibie menawarkan solusi konstitusional untuk mengelenggarakan Sidang Istimewa MPR (SI MPR) sebagai uji konstitusionalitas pemerintahannya. SI MPR 1999 berlangsung selama 21 hari, dari 1 sd 21 Oktober 1999, dengan membahas 4 agenda utama, yaitu (1). Memilih Ketua MPR dan DPR, (2). Membahas Pidato Pengatnggungjawaban Presiden Habibie atas penyelenggaraan pemerintahan yang disampaikan pada 14 Oktober 1999, (3). Pemilihan Presiden, dan (4). Pemilihan Wakil Presiden.

Ternyata Pidato Pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR pada sidang tanggal 20 Oktober 1999, dengan komposisi suara 355 menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Oleh karena Pidato Pertanggungjawabannya ditolak, Habibie secara self proclaim, Habibie memilih tidak ikut lagi dalam kontestasi Pemilihan Presiden, meskipun secara konstitusional, Habibie berhak mencalonkan diri menjadi Presiden.

Tapi Habibie lebih memilih mengatakan, Presiden bukan segala-galanya.

Praktik Pemerintahan Transisional

Meskipun menjadi Presiden dalam periode krisis dan singkat, Habibie telah sangat berjasa memberi konstribusi penting (benchmark) pada kovensi ketatanegaraan Indonesia, yaitu memperkenalkan praktik pemerintahan transisional.

Habibie yang mengedepankan sikap negawaran prima, yaitu secara self proclaim, mengambil sikapdan tindakan memperpendek masa jabatannya dari 5 tahun menjadi kurang dari dua tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, dan memilih tidak mencalonkan diri lagi menjadi presiden meskipun Habibie memiliki hak konstitusional.

Pemerintahan Transisional merupakan pilihan bijak sekaligus sebagai solusi dan rekonsiliasi konstitusional atas krisis pemerintahan di Indonesia karena gagal mendapat dukungan dan kepercayaan rakyat, walaupun secara konstitusiional dianyatakan terpilih melalui pemilihan presiden.

Dr. Bahrul Ilmi Yakup, SH., MH.
Pakar Hukum Tata Negara dan Perundang-Undangan

Back to top button