MAHASISWA

Pemimpin Jangan Alergi Kritik

Ujaran kebencian di media sosial yang berujung pada kasus hukum tengah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubungannya dengan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bermula dari kasus pencopotan jabatan Dandim di Kendari karena postingan kritis istrinya di facebook setelah terjadinya penusukan pejabat negara, kritikan yang dianggap mengacu pada ujaran kebencian ini sontak heboh di jagad dunia maya dan media sosial lainya.

Dilansir dari laman kontan.co.id (12/10), tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sanksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Mereka mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.

Menurut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan saat ditemui kompas.com (13/10), aturan mengenai kode etik dan disiplin PNS diatur dalam peraturan presiden (PP). PP Nomor 42 Tahun 2004 mengatur tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, sedangkan PP Nomor 53 Tahun 2010 merupakan aturan tentang disiplin PNS.

Dalam negara demokrasi, kritik sejatinya adalah inti dari demokrasi itu sendiri. Kritik merupakan cara untuk mengetahui kekurangan, jadi keberadaan pihak yang melakukan kritik seharusnya disyukuri bukan dimusuhi.(https://www.kompasiana.com/cpnssmd/5add94ddcbe523678749aec4/kritik merupakan-sahabat-bagi-demokrasi?page=all)

Padahal, dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Tetapi dalam setiap melakukan kritik diharapkan juga ada solusi dari apa yang telah di kritik, jadi jangan hanya mengkritik tetapi tanpa ada tujuan atau solusi. Berikanlah kritik yang konstruktif atau membangun.

Namun, sangat jauh berbeda ketika sistem Islam diterapkan dalam kekhilafahan. Rakyat boleh mengkritik dan menegur penguasa, bahkan boleh ditujukan langsung kepada khalifah yang memimpin. Sehingga penguasa dapat memperbaiki diri dari kebijakan yang diambilnya untuk ditinjau ulang apakah sudah sesuai dengan Islam atau tidak.

Pengkritikan adalah sesuatu yang lumrah dilakukan sesorang kepada orang lain, apalagi jika orang yang dikritik tersebut adalah penguasa yang bertugas menjalankan amanahnya sebagai seorang pemimpin karena tanggung jawab seorang pemimpin itu berat perhitungan di yaumil hisab ketika dia salah dalam memimpin oleh karena itu di kalangan sahabat Rasulullah di antaranya teladan khulafaur Rasyidin Abu Bakar Ash Shidiq setelah beliau diangkat menjadi khalifah( Pemimpin) umat Muslim, beliau berpidato di hadapan rakyatnya.

“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Shalat semoga Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.”

Dalam pidato tersebut, sebelum menasihati rakyatnya, ia terlebih dulu meminta nasihat rakyatnya. Padahal beliau adalah kekasih Rasulullah dan sahabat baiknya yang tentunya ketakwaannya kepada Allah dan pemahamannya terhadap wahyu bisa dikatakan terbaik dibanding rakyatnya.

Khalifah kedua, Umar bin Khattab juga memiliki banyak keutamaan, bahkan ada banyak ayat yang turun karena perkataannya. Namun begitu, ia bahkan menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surah An-Nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasihat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Al-Quran Surah Al-Ahqaf ayat 15 dan Al-Baqarah ayat 233. Pada ayat pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui saja, yakni dua tahun atau 24 bulan.

Dengan dua ayat di atas, Ali bin Abi Thalib menyimpulkan bahwa usia minimal kandungan hingga melahirkan adalah enam bulan. Khalifah ketiga yang terkenal dermawan itupun tak segan untuk mengambil pendapat rakyatnya dan mengubah pendapat pribadinya.

Rasulullah Saw bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat: “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah Saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ [HR. Imam Ahmad]

Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ummu Salamah, Rasulullah Saw bersabda: “Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kema’rufan dan kemunkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa) dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)” Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Muhasabah terhadap penguasa adalah bagian dari syariah Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga. Ketika Islam tegak, pasti akan berdampak pada kebaikan sebuah negeri. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan ancaman bui. []

Devi
Mahasantri Ma’had Dzin Nurain Jakarta

Artikel Terkait

Back to top button