SUARA PEMBACA

Penghargaan Semu bagi Pahlawan Devisa

Sebutan sebagai pahlawan devisa, tidak serta merta menjadikan mereka dihargai dan dihormati. Nama mereka pun tidak harum. Meskipun mereka telah menjadi sumber pemasukan terbesar di tahun 2019, yaitu Rp195,6 trilyun. Namun keberadaan mereka di tengah masyarakat, masih dipandang sebelah mata. Kadang justru dianggap sebagai sumber masalah atau sampah, karena seringnya terlibat masalah.

Seperti yang terjadi pada TKW Eti binti Toyib asal Desa Cidadap, Kecamatan Cingambul, Kabupaten Majalengka, yang dipenjara sejak tahun 2002 di Arab Saudi atas tuduhan meracuni majikan. Melalui proses yang panjang dan berbelit, ia berhasil bebas dari hukuman mati. Itupun setelah adanya dukungan dari Pemerintah Indonesia serta berbagai kalangan.

Dubes RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel mengatakan dana sebesar Rp15,2 miliar bagi Eti, dihimpun oleh LAZISNU selama tujuh bulan dari para dermawan santri, dari kalangan pengusaha, birokrat, politisi, akademisi, dan komunitas filantropi, termasuk dari Pemprov Jawa Barat.

Dari informasi yang diperoleh, di awal perkara, ahli waris majikan meminta diyat sebesar 30 juta real atau Rp107 miliar agar Eti diampuni dan tidak dieksekusi. “Tapi setelah ditawar-tawar akhirnya dengan berbagai pendekatan, ahli warisnya bersedia dengan diyat Rp15,2 miliar,” ujar Kepala Dinas Ketenagakerjaan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah H Sadili. (Kabarcirebon, 6/7/2020)

Bupati Majalengka H.Karna Sobahi memberikan keterangan soal Eti Ruhaeti Binti Toyib Anwar yang telah bebas dari hukuman mati di Arab Saudi. Beliau mengungkapkan bahwa, pemerintah daerah akan terus melakukan monitoring terhadap perkembangan Eti, yang saat ini telah tiba di tanah air dan sedang menjalani proses pemeriksaan tes Covid-19 di Wisma Atlet.

Hal ini patut mendapat apresiasi, sebab pemerintah bertanggung jawab terhadap pengelolaan urusan rakyat. Bahkan bupati juga menjelaskan, ketika Eti sudah dipulangkan ke Kabupaten Majalengka, Pemerintah Daerah akan melarangnya kembali ke luar negeri dan memberikan fasilitas pembinaan kepada Eti. (Fajarcirebon, 10/6/2020)

Kabar baik bagi Eti. Hanya saja Eti tidak sendiri, masih banyak pekerja migran perempuan yang memiliki persoalan di tempat kerjanya. Apalagi dengan besaran diyat yang seperti itu. Tentu kecil peluang bagi kasus lain yang berakhir sukses, yaitu bebas dari tuduhan dengan memulangkan mereka kembali ke tanah air.

Meski begitu, para pekerja migran ini tidak selalu terlibat masalah, sebab bisa jadi mereka pulang dengan membawa berbagai kisah sukses tatkala merantau di negara orang. Hal ini yang membuat pekerja lain tergiur menapaki jejak pendahulunya. Namun yang bernasib buruk pun banyak, sebab terkatung-katung tanpa kepastian hukum, menderita dan terlunta-lunta tanpa bukti identitas yang jelas.

Padahal di awal, niat mereka baik, yaitu menghidupi keluarga agar terbebas dari kemiskinan. Demi kehidupan yang lebih baik, rela meninggalkan keluarga. Diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri sebesar 4,5 juta orang. Sebagian besar adalah perempuan, sekitar 70 %. Bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga dan manufaktur.

Dari sisi usia, sebagian besar mereka berada pada usia produktif yaitu di atas 18 tahun sampai 35 tahun. Namun ditengarai banyak juga yang sebenarnya masih anak-anak, hanya saja identitas dokumen perjalanannya dipalsukan. Selebihnya, sekitar 30 % adalah laki-laki, bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa. (Migrantcare.net)

Di sinilah persoalannya, sekalipun dipuja sebagai pahlawan devisa, namun mereka tidak memiliki proteksi. Di negeri tempat mereka bekerja, banyak masalah harus dihadapi. Di antaranya ada yang mendapat kekerasan verbal, fisik atau seksual, tidak digaji, tidak diberi makan, atau dipekerjakan tidak sesuai perjanjian awal, dan lain sebagainya. Di Timur Tengah (terutama Arab Saudi), buruh migran Indonesia yang menjadi korban perkosaan dan kekerasan majikan mencapai jumlah ribuan.

1 2Laman berikutnya
Back to top button