SUARA PEMBACA

Penghargaan Semu bagi Pahlawan Devisa

Tidak hanya itu, sebagian besar buruh migran bekerja di sektor-sektor yang penuh resiko yang disebut dengan 3D: Dark, Dirty, Dangerous. Data resmi yang yang dikeluarkan pihak KBRI Arab Saudi dan KBRI Kuwait, jumlah buruh migran yang melarikan diri ke KBRI untuk mencari perlindungan dari tindak kekerasan dan perkosaan majikan mencapai sekitar 3.627 orang pertahun.

Bahkan puluhan mayat buruh migran Indonesia yang meninggal di Arab Saudi masih terlantar belum dikuburkan dan tidak bisa segera di kirim ke ahli waris Indonesia. Akan tetapi hal ini tidak membuat jera, sebab pada faktanya masih banyak perempuan berminat kerja di luar negeri, meski bahayanya besar. Kemiskinan adalah salah satu sebabnya.

Pemerintah perlu kerja keras untuk menangani masalah yang satu ini. Di satu sisi jumlah angkatan kerja meningkat seiring dengan populasi rakyat Indonesia yang tinggi. Tetapi di sisi lain, ketersediaan lapangan pekerjaan terbatas. Belum lagi semakin maraknya pekerja asing yang masuk ke Indonesia, berebut sesuap nasi melalui regulasi kebijakan yang tidak berpihak pada bangsa sendiri.

Perempuan Mulia sebagai Pahlawan Peradaban

Kapitalisme memasang jerat sistemik yang luar biasa mengerikan. Kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar. Iming-iming kehidupan mulia dengan gaji tinggi di negeri orang, tak sebanding dengan bahaya yang harus diterima para pekerja migran perempuan. Mereka pada akhirnya harus memilih, tetap di dalam rumah dengan kemiskinan yang menghimpit atau ke luar rumah mencari penghidupan yang layak.

Ide kesetaraan jender ala kapitalisme turut andil menjerumuskan perempuan. Ia memberi penghargaan pada perempuan pekerja dengan label pemberdayaan perempuan. Sebaliknya yang mengurusi rumah, dianggap tidak berdaya. Maka benar jika dikatakan bahwa ilusi kebebasan laksana serigala berbulu domba. Tawaran pekerjaan hanya tampak indah di awal. Padahal gigi tajamnya siap mencabik fitrah perempuan.

Hingga para perempuan tercerabut dari akarnya yaitu sebagai ummu wa robbatul baiyt (ibu dan pengatur rumah tangga). Fungsi utamanya sebagai pencetak generasi emas, ditinggalkan. Maka bisa dipastikan anak-anak jadi korban, kehilangan jati dirinya sebagai umat terbaik. Tanpa peran ibu yang menancapkan akidah sebagai pondasi awal kepribadian mereka.

Tak hanya itu, para perempuan ini pun terpaksa menelan pil pahit. Sebab ia akhirnya bertukar peran dengan suami. Perempuan mencari nafkah, suami di rumah mengurusi keluarga. Tatanan keluarga pun rusak tanpa kendali akidah. Ditambah lagi pemerintah lepas tangan. Tanpa perlindungan negara, para pekerja migran menyabung kehormatan dan juga nyawa.

Perlindungan yang menyeluruh, ada pada Islam. Karenanya perempuan tidak boleh dieksploitasi untuk mendapat nilai materi. Sebab mereka adalah pahlawan peradaban. Syara’ membebani mereka dengan taklif yang lebih mulia. Bukan untuk menambah devisa negara tapi untuk mencetak tiang penopang negara melalui anak-anak yang berkualitas sebagai pemimpin kebangkitan.

Karenanya, mengembalikan perempuan kepada tugas utamanya sesuai syariat adalah sebaik-baik solusi bagi pekerja migran perempuan. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, sehingga mereka tidak terjerat kemiskinan. Penjagaan akidah, akal, kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, mutlak dibutuhkan.

Selama kepemimpinan bernegara berlandaskan kapitalisme, masyarakat akan jauh dari sejahtera. Karenanya hanya dengan kembali pada tatanan sesuai syariat Islam, yang akan menyelamatkan umat. Hingga kemudian bergerak pada tugas yang lebih tinggi yaitu membangun peradaban.

Lulu Nugroho
Muslimah, tinggal di Cirebon

Laman sebelumnya 1 2
Back to top button