OPINI

Perempuan dalam Pusaran Kapitalisme: Tumbal Perekonomian Dunia

Temu Nasional Kongres Wanita Indonesia ke-90 dan Sidang Umum International Council of Women (ICW) ke-35 telah berlangsung di Yogyakarta pada 13-20 September 2018. Acara yang mengusung tema Mentransformasi Masyarakat Melalui Pemberdayaan Perempuan (Transforming Society through Women Empowerment) diselenggarakan oleh ICW, Kowani (Kongres Wanita Indonesia), dan didukung penuh oleh Kementerian BUMN dan 35 BUMN, termasuk Kantor Berita Antara. Penyelenggaraan Sidang Umum ICW 2018 ini bertepatan dengan 130 tahun keberadaan organisasi ICW dan 90 tahun Kowani (insdustry.co.id, 14/9/2018).

Acara yang diselenggarakan untuk memperkuat komitmen bersama, bagi 150 perempuan dari organisasi dunia di 18 negara dan 1.000 perempuan perwakilan organisasi di Indonesia, dalam meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di dunia, khususnya di Indonesia telah sukses digelar.

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan di Sidang Umum ICW ke-35

Dilansir dari antaranews.com, 14/9/2018, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, dalam sambutannya pada acara “welcome dinner” Panitia dan Peserta Sidang Umum ke-35 International Council of Women (ICW), berharap penyelenggaraan Sidang Umum ke-35 International Council of Women dan Temu Nasional Seribu Perempuan Indonesia mampu mendorong kemajuan peran perempuan di berbagai bidang.

Menurut Yohana, persoalan perempuan dan anak masih mengalami berbagai macam masalah. Tugas perempuan dianggap hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan wilayah domestik atau rumah tangga, sedangkan laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama. Oleh sebab itu, untuk mengatasi permasalahan perempuan tersebut pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi menjadi faktor yang sangat penting untuk ditingkatkan.

Senada dengan Yohana, Kim Jung Sook, presiden International Council of Women (ICW), menyampaikan keyakinannya bahwa perempuan sebenarnya bisa mengubah dunia menjadi lebih baik bagi generasi mendatang, jika mereka mendapatkan pemberdayaan di segala bidang, baik sosial, budaya maupun pendidikan.

Kim Jung Sook menyebutkan saat ini baru ada 17 negara di dunia dipimpin oleh perempuan. Para perempuan masih dihadapkan dengan budaya “glass-ceiling” di tempat kerja. Jumlah perempuan yang menduduki posisi strategis di perusahaan masih sangat terbatas. Di Timur Tengah, misalnya, baru 3,9 persen perempuan yang berada di posisi puncak. Sementara di Amerika Latin 6,4 persen, di Asia Pasifik 9 persen, di Eropa dan di Amerika Serikat masing-masing 20 dan 19 persen (voaindonesia.com, 14/9/2018).

Lagi-lagi pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang khususnya ekonomi menjadi hal sensitif yang dibicarakan. Bahkan jauh hari sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jurnal ekonominya di weforum.org, 10/9/2018 menulis bahwa sekarang adalah waktunya untuk berinvestasi pada wanita dan anak perempuan. Untuk mendobrak hambatan yang menghalangi jalan mereka dan keberhasilan ekonomi di kawasan Asia.

Pernyataan Sri Mulyani tersebut didasari oleh penelitian McKinsey yang memperkirakan bahwa jika tidak ada yang dilakukan (wanita dan anak perempuan), ekonomi global akan kehilangan sekitar US $ 4,5 triliun (S $ 6,2 triliun) dalam GDP tahunan pada tahun 2025. Output tersebut merupakan sampel yang hanya diambil dari ekonomi Jepang yang hilang setiap tahunnya.

Maka tidak heran jika pada Sidang Umum ICW yang ke-35 di Yogyakarta kemarin, pemberdayaan ekonomi perempuan kembali digaungkan sebagai solusi problematika perekonomian dunia. Di sisi lain isu pemberdayaan ekonomi perempuan diharapkan menjadi solusi tepat bagi problematika yang menimpa perempuan hingga hari ini. Tapi benarkah demikian?

Perempuan dalam Pusaran Kapitalisme

Kapitalisme memiliki visi dan pandangan bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan dalam rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya. Manusia dalam sistem kapitalisme-liberalisme tidak lebih berharga dari sebuah barang. Maka adalah hal yang wajar jika perempuan dan anak-anak dalam sistem ini terhina. Sebab menjadi objek bisnis yang diperjualbelikan dan dieksploitasi seperti barang dagangan.

Kesalahan paradigma mendasar kapitalisme dalam memandang perempuan dan anak sebagai objek ekonomi yang dapat dieksploitasi fisiknya seperti “sapi perah” telah menjerumuskan perempuan dalam pusaran kenistaan. Perempuan kehilangan harkat dan martabatnya demi sesuai nasi. Tubuhnya dieksploitasi para kapitalis untuk menjajakan barang dagangannya. Kehormatannya digadaikan demi kehidupan glamor ala sosialita. Sementara tenaganya diperas habis-habisan untuk menggerakkan roda perekonomian.

Peran perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga kian terpinggirkan. Tergerusnya peran perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, berdampak buruk pada aspek sosial kemasyarakatan. Kurangnya kasih sayang dan pengasuhan seorang ibu berefek maraknya kasus penelantaran anak. Dari data 2016, menurut Khofifah Indar Parawansa yang pada saat itu menjadi Menteri Sosial mengatakan ada 4,1 juta anak Indonesia yang terlantar dan butuh perlindungan (antaranews.com, 28/3/2016).

Tak hanya itu saja, lepasnya peran ibu juga menambah parah problematika anak dan remaja. Kekurangan kasih sayang dan konflik sosial antara remaja menjerumuskan remaja pada pergaulan bebas dan narkoba. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari 87 juta populasi anak di Indonesia, sebanyak 5,9 juta di antaranya menjadi pecandu narkoba (okezone.com, 6/3/2018). Sementara pada 2009 saja tercatat jumlah kasus aborsi di Indonesia setiap tahun mencapai 2,3 juta dengan 30 persen dilakukan oleh para remaja (kompas.com, 16/2/2009).

Beratnya tekanan ekonomi memaksa perempuan bekerja keras. Ternyata berefek buruk pada tingginya kasus kekerasan pada perempuan, gugat cerai di pihak perempuan dan depresi. Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dicatat oleh beberapa lembaga terkait pada 2017. KDRT tercatat menjadi kasus dengan angka paling tinggi, yaitu 335.062 kasus (detik.com, 7/3/2018).

Kasus kekerasaan dalam rumah tangga menjadi pemicu ketidakharmonisan rumah tangga. Ujungnya tren perceraian pun kian tinggi. Tahun 2012, angka perceraian tertinggi tercatat di Indonesia. Pada tahun tersebut, angka perceraian mencapai 372.557. Dengan kata lain, terjadi 40 perceraian setiap jamnya di Tanah Air. Sementara data terbaru dari Pustlitbang Kementerian Agama, penggugat cerai lebih banyak dari pihak perempuan, yaitu sebanyak 70 persen dari kasus perceraian yang ada (vemale.com, 26/9/2016).

Beban ganda dalam rumah tangga dan pekerjaan membuat perempuan rentan terkena depresi. Dari data terakhir, pemerintah mencatat ada 19 juta orang yang mengalami depresi berat atau gangguan kejiwaan. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan wanita karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data riset kesehatan dasar (Riskesda) tahun 2007, ada 19 juta orang yang mengalami depresi berat karena tekanan ekonomi, KDRT, dan dampak bencana alam. Lebih banyak perempuan karena KDRT (detik.com, 7/7/2011).

Terbukti solusi yang ditawarkan kapitalisme, menjadikan perempuan sebagai penopang perekonomian dunia, merupakan jalan keluar jahat lagi sesat. Pemberdayaan ekonomi perempuan juga bukan solusi dari seabrek problematika yang menimpa perempuan hari ini. Sebaliknya solusi yang ditawarkan kapitalisme telah menciptakan masalah baru di tengah masyarakat. Di samping melepaskan fitrah perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

Sungguh perempuan dalam pusaran kapitalisme hanya menjadi mesin kapital yang mencabut fitrahnya. Dan terbukti menghasilkan krisis dalam kehidupan keluarga, kerusakan masyarakat dan kehancuran bangsa.

Islam Membebaskan Perempuan dari Tirani Kapitalisme

Islam memiliki solusi yang mengangkat harkat martabat perempuan, memberikan keadilan dan kesejahteraan tanpa diskriminasi dan tanpa mencabut fitrahnya sebagai perempuan dan ibu.

Islam menempatkan perempuan di posisi mulia sesuai fitrahnya sebagai al-umm wa rabbatul bait. Kemuliaan seorang perempuan terletak ketika ia mampu mengemban fitrahnya. Tiada lain adalah menjalankan perannya menjadi ibu yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan mencetak anak-anaknya sebagai generasi calon pemimpin umat dan penjaga peradaban mulia. Perempuan sebagai ibu dan calon ibu juga adalah madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Serta Menejer yang mengurus dan mengatur rumah tangganya.

Kemuliaan perempuan tak hanya diraih ranah domestik saja. Di ranah publik, syariat Islam memuliakan perempuan dengan memerintahkan perempuan untuk menutup auratnya. Agar perempuan tak hanya dihargai sebatas penampilan fiisknya dan agar ia terjaga dari lisan dan pandangan orang.

Islam juga memberikan ruang gerak perempuan di ranah publik, selama ia tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Demikian juga dalam amalan-amalan lain di segala bidang, bahkan perempuan ikut ambil bagian dalam dakwah yang mulia, menyeru manusia kepada Islam.

Khadijah radhiyallahu’anha adalah contoh nyata perempuan yang berdaya dan memberdayakan orang lain di masa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Kiprahnya sebagai saudagar muslimah kala itu tak perlu diragukan lagi. Namun di sisi lain tugasnya sebagai ibu dan pengurus rumah tangganya tak ia abaikan. Bahkan didikannya telah mengantarkan Fathimah tumbuh menjadi muslimah yang taat dan tangguh.

Khadijah radhiyallahu’anha juga berkontribusi besar di jalan dakwah. Harta bendanya habis ia korbankan demi tegaknya dinullah. Beliau mendampingi dan mendukung Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dengan segenap jiwa dan raga, tanpa mengeluh dan lelah. Dan Khadijah masa kini hanya dapat lahir dalam sistem Islam saja.

Perlindungan dan penjaga perempuan tak akan pernah ditemukan dan dirasakan oleh perempuan, selama kapitalisme bercokol di negeri ini. Sebaliknya perempuan menjadi objek eksploitasi untuk diperas darah dan keringatnya. Kapitalisme justru menambah pelik problematika perempuan hingga hari ini. Maka, sungguh problematika perempuan saat ini hanya dapat tuntas ketika perempuan berada dalam naungan Islam saja. Iya, hanya dalam Islam saja perempuan menjadi mulia dan sejahtera! Insyaallah. Wallahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Pemerhati Perempuan, Member Akademi Menulis Kreatif

Artikel Terkait

Back to top button