Perempuan: Korban dan Komoditas Sistem Sekuler
Ada pula frasa mengenai “persetujuan untuk melakukan hubungan seksual” atau sexual consent yang berarti kekerasan seksual berlaku bila terjadi pemaksaan hubungan seksual. Jika kedua pihak setuju melakukan hubungan seksual, itu tidak termasuk bentuk pemaksaan. Frasa ini juga membuka jalan bagi liberalisasi pergaulan.
Dan masih banyak frasa lain yang bermasalah sehingga pembahasan RUU PKS menjadi alot. Tak bisa dimungkiri, perempuan memang kerap menjadi korban pelecehan, penindasan, penganiayaan, serta kejahatan seksual lainnya.
Namun, bukannya mencari biang masalah dari kejahatan yang menimpa perempuan, para pegiat feminis gender justru mengusung gagasan RUU PKS. Padahal, RUU ini justru memberi peluang besar meningkatnya kejahatan seksual.
Komoditas bagi Kapitalis
Jika mau menghilangkan rumput di halaman, maka yang harus dilakukan adalah mencabutnya hingga ke akar rumput, bukan memotong bagian atasnya. Ibarat rumput, kekerasan yang menimpa kaum perempuan tak akan tuntas jika akar masalahnya tidak diselesaikan.
Dalam sistem sekuler kapitalistik, perempuan adalah korban sekaligus komoditas yang menguntungkan. Mereka menjadi korban akibat sistem sekuler yang sangat jauh dari kehidupan beragama. Perlindungan pada perempuan sangat minim dalam kehidupan yang serba bebas.
Agama tak lagi menjadi pedoman hidup. Nilai kebebasan dan budaya permisif justru menjadi kiblat dalam bersosial masyarakat. Tak ayal, kejahatan dan kriminalitas makin meningkat dengan segala teknik dan cara. Termasuk yang menimpa kalangan perempuan.
Di satu sisi, perempuan juga menjadi komoditas berharga bagi sistem kapitalis. Eksploitasi pada tubuh indah menawan perempuan kerap terjadi. Bahkan mereka diberi ajang eksistensi diri dalam perlombaan ratu sejagat. Iklan-iklan seksi para perempuan menjadi pemikat konsumen. Bagaimana mau melindungi perempuan, bila wajah dan tenaga perempuan dimanfaatkan untuk profit bisnis para kapitalis?
Berharap ada penjagaan terhadap perempuan, tapi sistem sekuler kapitalistik justru mengeksploitasi perempuan dengan berbagai cara. Inilah yang harus dipahami oleh masyarakat. Kasus kekerasan perempuan bukan hanya karena lelaki hidung belang atau suami yang kurang ajar.
Kekerasan pada perempuan tidaklah berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Dari faktor internal, paling banyak ialah kondisi psikis si pelaku. Kondisi ini pun dipicu berbagai faktor seperti ekonomi, kemiskinan, kekecewaan pelaku pada korban, lemahnya pondasi iman hingga perilaku kekerasan yang dipertontonkan media.
Dari faktor eksternal seperti hilangnya kontrol masyarakat mencegah kekerasan, perilaku individualis masyarakat, lemahnya sistem pendidikan dan penegakan hukum yang tak memberi efek jera. Semua itu terjadi sebagai konsekuensi logis diterapkannya sistem sekuler liberal.
Merebaknya kasus kekerasan pada perempuan bukan sekadar karena ketimpangan gender atau diskriminasi pada perempuan. Jika melihat persoalan perempuan hanya sebatas ini, maka itu sama saja memotong rumput bagian atasnya saja. Hal ini akan terus berulang sekalipun ada UU yang melindungi perempuan. Bila pemikiran sekuler liberal masih menjadi landasan hidup, itu tidak akan mengurai masalah perempuan.