NUIM HIDAYAT

Peristiwa Penting: 22 Juni 1945 dan 5 Juli 1959

Keterangan pemerintah yang ‘sepihak’ itu (tanpa landasan tertulis) tentu saja belum memuaskan faksi Islam. Ketua Fraksi Islam di Majelis Konstituante yang saat itu dijabat KH Masjkur (dari NU) mengusulkan agar tujuh kata itu masuk dalam Pembukaan UUD 1945. Maka diambillah pemungutan suara di Konstituante. Hasilnya 201 pro dan 265 kontra dari 470 anggota Konstituante yang hadir. Fraksi Islam kalah tipis.  Hal itu menunjukkan pertentangan yang keras dari Kubu Islam dan Kubu Pancasila dalam menyikapi rumusan Piagam Jakarta.

Usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945, tanpa revisi, juga dilaksanakan pemungutan suara di Majelis Konsituante. Konstituante bahkan melakukan tiga kali pemungutan suara. Pada 30 Mei 1959, hasilnya 269 pro dan 199 kontra. 1 Juni 1959 hasilnya 264 pro dan 204 kontra. Dan terakhir pada 2 Juni 1959, 263 pro kembali UUD 45 dan 203 kontra. Karena kemenangan kurang dari 2/3 suara –sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45—maka hasil pemungutan suara itu tidak ada yang menang.

Beberapa anggota Konstituante dari kubu pro Pancasila, PNI, PKI dan IPKI menyarankan agar Konstituante membubarkan diri. Banyak diantara mereka menyatakan tidak akan hadir pada sidang-sidang Konstituante berikutnya. Maka pemungutan suara pada 2 Juni 1959 itu, adalah sidang terakhir Majelis Konstituante.  Dari kubu Islam, Masyumi dan NU, berharap agar Konstituante menyelesaikan pekerjaannya menyelesaikan konstitusi baru. Beberapa anggota Konstituante mengusulkan kepada pemerintah memberi kesempatan kepada mereka untuk bersidang sampai Maret 1960.

Maka pimpinan TNI dan wakil-wakil Konstituante mengusulkan kepada presiden Soekarno agar mengeluarkan dekrit.  Menteri Penerangan Roeslan Abdulgani menghadap Soekarno yang sedang berkumjung ke Tokyo, untuk memberi laporan tentang perkembangan politik dalam negeri. Presiden pun segera pulang ke tanah air pada 29 Juni 1959. Rumusan dekrit itu akhirnya ditandatangani pada 4 Juli 1959 dan diumumkan di Istana Merdeka Jakarta pada 5 Juli 1959.

Untuk mengakomodasi usulan-usulan dari berbagai fraksi di Konstituante, maka Dekrit Presiden itu terdiri dari lima pertimbangan. Pertama, bahwa Konstituante tidak dapat mengambil keputusan yang diperlukan, yaitu mayoritas dua pertiga mengenai usul kembali ke UUD 45. Kedua, bahwa sebagian besar anggota Konstituante menolak menghadiri rapat-rapat selanjutnya, sehingga Konstituante tidak dapat meneruskan tugasnya. Ketiga, oleh karena itu telah timbul situasi yang berbahaya bagi kesatuan dan kesejahteraan negara. Keempat bahwa dengan dukungan sebagian besar rakyat serta dikukuhkan oleh keyakinannya sekarang, Presiden harus mengambil tindakan untuk menyelamatkan negara. Kelima bahwa Presiden yakin bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan dari Konsitusi tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu, Presiden mendekritkan bahwa Konstituante dibubarkan dan menetapkan kembali secara resmi UUD 1945 sebagai UUD negara.

Jadi bisa dilihat, akhirnya presiden berusaha mengambil jalan tengah antara kubu Islam yang setuju dengan Piagam Jakarta dan kubu Pancasila yang menolak Piagam Jakarta. Kubu PNI-PKI-IPKI dan kubu Masyumi-NU. Mewadahi suara Fraksi Islam yang suaranya hampir sama dengan Fraksi Pancasila, maka Presiden dalam dekritnya menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan dari konstituasi tersebut. Dan tentu dengan dekrit ini dalam konteksnya saat itu, maka sesuai dengan usulan fraksi Islam, dekrit presiden ini mempunyai kekuatan hukum. Maka berlakunya hukum-hukum Islam saat ini –dan seterusnya- di tanah air mempunyai status hukum yang kuat. Selain tentu saja dalam Pancasila sendiri terdapat sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menurut proklamator Bung Hatta bermakna Tauhid.

Inilah yang dikhawatirkan kalangan Kristiani dalam tabloidnya: “Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diperlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan ini lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam perundang-undangan.  Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoakasi, dan lain-lain. Apapun alasannya semuanya ini bertentangan dengan prinsip dasar negara ini.” (Tabloid Kristen, Reformata edisi 110/2009).

Seorang penulis Kristen, IJ Setyabudi, dalam bukunya “Kontroversi Nama Allah” – (lihat buku Adian Husaini, “Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”)-  mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila pertama Pancasila. Ia menulis: “Lalu siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas Bapak-Bapak Islam lebih cerdas dari Bapak-Bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu!” Kata Maha Esa itu memang harus berarti satu. Oleh sebab itu tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-Bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama itu.” []

Nuim Hidayat, Penulis Buku “Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah.”

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button