NUIM HIDAYAT

Persahabatan 47 Tahun (2)

Tahun 1936 sayapun pindah ke Medan dan bersama saudara M Yunan Nasution mengeluarkan majalah Pedoman Masyarakat. Setelah majalah saya pimpin langsung saya kirimkan kepada M Natsir dan kawan-kawan di Bandung. Sambutan Natsir baik sekali. Dia memuji mana yang patut dipuji dan dia memberikan komentar sambil lalu dan secara halus pada hal-hal yang kurang setuju, terutama tentang roman.

Di akhir Desember 1939 saudara M Yunan Nasution dan Zainal Abidin Ahmad, pertama sebagai pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat, kedua sebagai pemimpin redaksi Panji Islam, berkirim surat kepada saudara M Natsir minta tinjauannya tentang cerita-cerita roman.

Maka pada Januari 1940 diberikan jawabannya yang bernas tentang roman itu. Di sana ditunjukkannyalah pengetahuannya yang jelas dan pertimbangan yang adil dan obyektif tentang roman. Dalam karangan itu, dia mengarahkan jalan, bukan mematahkan semangat pujangga yang sedang tumbuh, sehingga dengan sendirinya kita mendapat tuntunan. Inipun menyebabkan kekaguman saya bertambah lagi kepada beliau.

Dan pada tahun 1939 itu juga berdiri Partai Islam Indonesia (PII). Orang-orang Muhammadiyah yang berminat politik telah aktif dalam partai itu. Diantaranya ialah KH Mas Mansoer (Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah). A Kahar Muzakkir, H Farid Ma’ruf dan lain-lain.

Saudara M Natsir menjadi Ketua PII di Bandung.

Ketika itu saya tidak masuk PII dan tidak pula memasuki partai politik yang lain, karena di Medan sendiri pada waktu itu belum ada PII. Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah sendiripun yang datang ke Medan ketika Kongres Muhammadiyah ke-28 (1939), memberi pandangan kepada saya lebih baik jangan masuk PII, hadapilah Muhammadiyah saja. Dan supaya terus menjadi pengarang Islam.

Tidak lama sesudah kongres, HR Muhammad Said, Konsul Muhammadiyah Medan meninggal dunia. Pimpinan Muhammadiyah terserah kepada saya. Dalam hati timbullah kerelaan buat menjadi pengikut dalam gerak politik umat Islam kepada ahlinya.

Dalam menyebut ahlinya itu, yang teringat utama ialah Natsir.

Pergolakan di tanah air untuk selanjutnya bertambah hebat. Dengan terbentuknya MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) dan bergabungnya aksi politik Islam dalam satu gerakan, dan dengan berkumpulnya orang-orang dan seperti Natsir, Wahid Hasyim, Prawoto Mangkusasmito dan lain-lain dalam badan tersebut, jelaslah bahwa politik kaum Muslimin menunjukkan kepribadiannya.

Kami yang tinggal di daerah, terutama di Medan merasa tenteram dan bersyukur melihat yang demikian. Usaha-usaha pihak luar hendak memandang bahwa gerakan Islam tidak ada artinya, dengan sendirinya tidak berarti lagi. Kami berpendapat bahwa generasi lama di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto telah digantikan dan diteruskan oleh generasi muda, yaitu M Natsir, Prawoto, Mohammad Roem, Wahid Hasyim dan lain-lain.

Bertambah terasa dalam hati bahwa di samping pejuang-pejuang di lapangan politik, harus bangun wartawan-wartawan dengan pandangan hidup Islam. Untuk itu berdiri Warmusi. Harus ada pengarang Islam, pujangga Islam. Dan masing-masing angkatan muda Islam harus mencari dirinya sendiri ditempat mana dia mestinya duduk dan di lapangan mana mestinya dia beredar.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button