NUIM HIDAYAT

Persahabatan 47 Tahun

Di Sumatera Barat pada tahun 1930 timbul Gerakan Persatuan Muslimin Indonesia atau Permi. Dasarnya ialah Islam dan Kebangsaan. Penggabungan diantara Islam dan Nasionalisme.

Rasa benci kepada gerak Islam itu telah ditimbulkan dengan sangat hebatnya oleh gerakan komunis ketika dia mulai memasuki Indonesia di tahun 1922. Sebab gerakan rakyat yang sangat besar pada waktu itu, yang sangat berpengaruh pada rakyat, yang beranggota sampai meliputi seluruh Indonesia, ialah gerakan Partai Sarekat Islam di bawah pimpinan Tjokroaminoto.

Banyak kaum terpelajar sendiri yang masuk. Maka untuk gerakan komunis, menurut sistemnya yang terkenal, untuk mencari pengaruh pula kepada rakyat jelata, tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan Sarekat Islam. Supaya dapat mengacaunya dari dalam, menentang dan membusuk-busukkan para pemimpinnya.

Sarekat Islam dipecah. Timbul Sarekat Islam Merah yaitu yang dipengaruhi Komunis dan Sarekat Islam Hijau –nama yang diberikan Komunis- yaitu yang dipimpin Tjokro.

Dimulailah menghantam, menfitnah, menuduh dengan macam-macam tuduhan hina bagi Tjokro. Dan dari situ mulailah menjalar tuduhan kepada Muhammadiyah yang diberi nama Sarekat Hijau. Segala politik yang dibenci oleh PKI diberi cap PEB (Politicke Ekonomise Bond). Lalu dicap sebagai orang yang tidak tunduk kepada PKI, bahwa mereka semua adalah PEB dalam arti yang hina yaitu (Penjilat Ekor Belanda).

Hantaman yang sangat keras kepada gerak Islam di bawah Tjokro ini, tidak ada tara dalam kehebatannya, menjadi isi dari seluruh surat kabar komunis, yang menimbulkan suasana rangsangan benci kepada Islam. Bukan saja kepada SI bahkan Muhammadiyah pun. Berkesan sehingga timbul perasaan rendah diri dalam kalangan Islam sendiri. Malu bergerak dalam Islam, segan menyebut-nyebut nama Islam.

Sampai sekitar Revolusi KOmunis yang gagal di Jawa (1926) dan gagal di Sumatera Barat (1927) di Silungkang, penganjurnya dibuang di Digul, lalu timbul gerakan Partai Nasional Indonesia (1928), nama Islam tidak disebut-sebut lagi. Orang malu, takut dan merasa ‘lebih selamat’ jika tidak membawa-bawa Islam.

Dan pemerintah kolonial Belanda pun nampaknya memandang bahaya Islam itu lebih besar dari pada bahaya komunis. Inilah yang tinggl dan berkesan sampai berpuluh-puluh tahun di belakang.

Dan inilah semua yang membangkitkan hasrat pejuang-pejuang Islam di Bandung mengeluarkan majalah Pembela Islam. Islam dibela dari celaan-celaan yang seakan-akan menunjukkan bahwa Islam tidak berperanan apa-apa dalam perjuangan melawan penjajah.

Majalah Pembela Islam benar-benar membuka mata, menunjukkan kepada kita, kemana arah yang kita tuju. Di dalam majalah tersebut terdapat artikel-artikel yang ditulis oleh pemimpin-pemimpin Islam kawakan. Di antaranya MS (M Sabirin) salah satu pemuka Partai Sarekat Islam, Ali Harharah penganjur Al Irsyad dari Surabaya, A Hassan dalam artikel ‘Soal Jawab’ masalah agama. Namun yang jadi inti ialah tulisan M Natsir.

Natsir menulis tentang dasar perjuangan kaum Muslimin dalam mencapai kemerdekaan. Bahwa dalam mengejar cita-citanya kemerdekaan Indonesia, kaum Muslimin tidak perlu mengemukakah kebangsaan. Cukup dengan dasar Islam saja. Karena berjuang mencapai kemerdekaan sudah menjadi perintah agama Islam sendiri.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button