Pidato Hamka pada Sidang Majelis Konstituante (1)
Kami mengenal pemimpin-pemimpin yang kita jadikan lambang nasional kita sekarang, sebagai yang memulai perjalanan ini, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar Johan Pahlawan, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin Makasar dan Maulana Hasanuddin Banten, Sultan Hairun dan Baabullah di Ternate, Raja Ali Haji yang tewas di Malaka, Iskandar Muda mahkota alam di Aceh. Coba tunjukkan agak seorang yang mana di antara mereka yang kami khianati? Trunojoyo dan Karaeng Galesong kah, Untung Surapati atau yang lain, tunjukkan agak seorang, katakan baik-baik, yang mana yang kami khianati? Jika ada, dan dapat saudara menunjukkan buktinya, dari segi sejarah dan ilmiah, kami akan kembali ke pangkalan dan surut kepada kebenaran.
Apa yang kami khianati itu, Sultan Abdulhamid Diponegoro yang bergelar Khalifatul Muslimin dan Amirul Mu’minin, yang terang-terang di hadapan Gubernur Jenderal de Kock menyatakan bahwa beliau hendak mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa ini? Apakah kami mengkhianati Tuanku Imam Bonjol, yang nama kecilnya Ahmad Sjahab dan gelar waktu mudanya Peto Sjarif dan di waktu tuanya muallim besar dan imam dalam peperangan di Bonjol, yang ingin hendak membentuk masyarakat dan negeri berdasar Islam di alam Minangkabau, adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah?
Apa yang kami khianati itu Teuku Cik Di Tiro, yang menamai tentara gerilya menentang penjajahan Belanda dengan nama ‘muslimin’ dan memerintahkan seorang anggota stafnya mengarang syair perang salib disiarkan di seluruh Aceh dan memberikan semangat bagi perlawanan Teuku Umar Johan Pahlawan? Pemimpin yang mana yang kami khianati Saudara Ketua, apakah Raja Aji yang tewas bertempur dengan Belanda di pantai Malaka, yang seketika itu tewas, kitab ‘Dalailul Khairat’ pujaan kepada Rasulullah ada dalam tangan beliau yang kiri dan badik Bugis ada di tangan kanannya? Apakah kami mengkhianati Tjokroaminoto, guru dari Bung Karno, pemimpin yang mula-mula mengadakan kongres nasionalis di Bandung ini?
Barangkali yang menuduh kami berkhianat itu ketika saya baca ini, melayang pikirannya kepada pahlawan kita di Maluku ada Pattimura. Maka bertanyalah saya kepada yang menuduh kami khianat itu, dapatkah kita menyingkirkan Guru dari Pattimura, laksana Kiai Maja dari Diponegoro, yaitu syahid? Perintah beliau lah yang selalu menghembuskan semangat syahid ke dalam telinga Pattimura, walaupun Pattimura belum jelas seorang Islam dan sama-sama naik tiang gantungan berdua.
Barangkali melayang pula pikirannya kepada Sisingamangaraja di Tanah Batak, kalau-kalau beliau memperjuangkan Pancasila. Bagaimanapun saudara lari ke sana, saudara tidak akan bertemu di sana Pancasila. Yang bertemu adalah kerangka atau bengkalai Islam yang belum selesai, yaitu agama Parmalin, yang sampai sekarang mantra dukunnya masih tetap dimulai dengan Bismillah. Di kiri kanannya berdiri pula beberapa ulama pembantunya dari Aceh dan Minangkabau.
Terang saudara Ketua yang terhormat, disitu tidak berjumpa Pancasila. Sebab Pancasila barulah dipopulerkan sepuluh tahun yang akhir ini, dengan maksud hendak menentang cita-cita kami yang asli kita terima dari nenek moyang, yaitu melanjutkan cita-cita mereka mendirikan negara berdasar Islam di kepulauan Indonesia ini, lebih besar, lebih bersifat nasional dari yang mereka telah mulai waktu itu. Kalau boleh saya memakai kata-kata yang lebih jitu, dapatlah saya memastikan dengan penuh tanggungjawab, di hadapan Allah dan di hadapan sejarah, bahwa kami inilah fraksi Islam yang menerima baik pusaka pemimpin-pemimpin yang telah lalu itu.
Kamilah yang meneruskan wasiat mereka dapat pulalah saudara ketua mengetahui kemana mestinya ujung logika dari pernyataan saya ini. Mungkin dikatakan bahwa yang mengkhianati roh nenek moyang pemimpin yang terdahulu, ialah yang menukar pejuangan mereka dengan Pancasila. Tetapi saudara ketua, saya tidak mau menyampaikan konklusi ke sana, sebab kita sekarang adalah tengah mengadu pikiran untuk mempadu. Bahkan sebagai Muslim, saya beri maaf orang-orang yang menuduh kami pengkhianat, karena kami tahu bahwa ilmunya tentang sejarah nenek moyangnya masih sangat perlu ditambah.
Kami kadang-kadang tersenyum saudara ketua, bagaimana usaha hendak menyelimuti kebenaran dengan mendustai sejarah, yang kadang-kadang sangat mencolok mata. Misalnya dalam gambar-gambar Pangeran Diponegoro naik kuda, pada kelana kuda tersebut kelihatan jelas tanda bulan sabit. Maka ada pelukis ‘Pancasila’ yang sengaja menghapus bulan sabit itu dari pelana. Dan baru-baru ini saya lihat sebuah lukisan Imam Bonjol, kepunyaan Menteri Penerangan, sebagai propaganda Pancasila, gambar beliau yang biasa terkenal di tangannya ada seuntai tasbih, maka di gambar Kementerian Penerangan itu dicopot tasbihnya… (BERSAMBUNG).
Dikutip dari buku Pancasila dan Islam, Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, Erwin Kusuman dan Khairul (editor), Baur Publishing, 2008 []
Nuim Hidayat, Penulis Buku Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah.