Potret HOS Tjokroaminoto
Penulis ini di tahun 1924, masuk sekolah Stovia (sekolah dokter). Bagi penulis terbuka dua macam pakaian, seperti pemuda Belanda, jas, celana pendek atau panjang dan sepatu, atau pakaian tradisionil Jawa. Begitu pula bagi pelajar-pelajar yang berasal dari luar Jawa. Pakaian Eropa atau pakaian tradisionil menurut daerah masing-masing.
Sarung adalah pakaian yang dipandang kurang sopan atau kurang terhormat. Di sekolah-sekolah negeri di Jawa, di Pekalongan pun, tempat orang membuat sarung, murid-murid tidak diperkenankan memakai sarung di sekolah-sekolah negeri. Sarung pakaian rakyat jelata.
Pak Tjokro memakai sarung
Jika Anwar Tjokroaminoto tidak ingat ayahnya memakai sarung, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa sudah lama benar, waktu pak Tjokro memakai sarung. Dan potret Pak Tjokro yang terkenal dan bernilai sejarah, ialah Pak Tjokro yang memakai sarung, jas tutup, peci dan sandal.
Potret Pak Tjokro itu sekarang masih dapat kita lihat di kantor Ladjnah Tanfidziah PSII, di Taman Matraman. Potret itu bukan yang asli, tapi merupakan lukisan bersama, karya pelukis potret terkenal, Haji Zainal. Menurut dugaan penulis, berhubung dengan keterangan Anwar dan lain-lain bacaan, potret itu dibuat di sekitar tahun 1915.
Baru-baru ini penulis memerlukan datang di Kantor PSI untuk merenungkan sambil melihat potret yang sangat mengesankan itu, dan mengingatkan juga apa yang pernah dikatakan oleh Haji A. Salim: “Pada saatnya potret itu berarti revolusi”.
Dalam surat Dr. G.A.J. Hazeau, Pejabat Penasihat Kantor Urusan Bumiputra, tanggal 29 September 1916, yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum, berkenaan dengan selesainya Kongres Nasional Pertama Sentral Serikat Islam, yang diadakan di Bandung, tanggal 17-24 Juni 1916, dapat diambil beberapa kesimpulan:
a. bahwa Sarikat Islam adalah penjelmaan kesadaran rakyat.
b. bahwa pribumi (Inlanders) tidak suka lagi dipandang sebagai “manusia setengah atau seperempat”, tapi menuntut dihormati sebagai “warga negara bebas” tanah airnya.
c. bahwa kebangkitan Islam itu tampak juga pada gejala lahir, seperti pakaian, cara-cara bercakap, adat-istiadat sehari-hari dan sebagainya.
Waktu penulis ini sedang memandang potret Pak Tjokro di Kantor L.T. PSII tersebut, penulis tidak tahu, bahwa seorang pemuda sudah berdiri di samping penulis. Pemuda itu menanyakan tentang pandangan mata Pak Tjokro. Pandangan mata yang menantang.
Penulis menjawab, bahwa penulis kenal pelukis Haji Zainal kawan akrab, sudah 40 tahun. Ia seorang PSII kawakan dan penulis dapat menjamin kejujurannya. Ia pun penulis rasa pernah mendengar keterangan Pak Haji Salim tentang potret itu: “sebuah revolusi”.
Seperti dikatakan oleh Dr. Hazeau tersebut bahwa kebangkitan rakyat tampak juga pada “gejala yang lahir seperti pakaian, cara-cara bercakap, adat-istiadat sehari-hari”, maka perhatikan juga bagaimana Pak Tjokro duduk dalam potret itu; kaki kanan diangkat dan diletakkan di atas lutut kaki kiri. Seorang Jawa tradisionil tidak duduk semacam itu!
Kalau celana itu lambang golongan atas dan sarung pakaian rakyat jelata, maka Pak Tjokro tidak memilih memakai celana dan menganjurkan rakyatnya untuk memakainya juga, akan tetapi Pak Tjokro turun ke bawah dan mempersatukan diri dengan rakyat. Untuk menuntut persamaan ia pandang tidak perlu meniru yang ada di atas, persamaan hak tidak terletak dalam persamaan berpakaian.