NUIM HIDAYAT

Potret HOS Tjokroaminoto

Pak Tjokro memakai sarung; akibatnya bukan ia yang turun kedudukannya, tapi sarung yang naik pangkat. Sarung menjadi pakaian orang yang terhormat, dan hilanglah perbedaan dalam masyarakat, yang ditentukan dengan memakai celana dan sarung.

Semata-mata bagi kepentingan sejarah, penulis ingin menyinggung keterangan almarhum Hadisubeno. Waktu Ketua PNI itu menuding “kaum sarungan” sebagai golongan yang berbahaya bagi Pancadsila. Ia tidak tahu, bahwa Pak Tjokro pada saatnya dengan senjata sarung memberi kesadaran kepada rakyat, bahwa “kaum sarungan” bukan lagi “setengah atau seperempat manusia”, tapi “warga negara” yang bebas.

Hadisubeno juga lupa, bahwa salah seorang Ketua PNI di masa yang belum begitu lama, dan seorang pemimpin Masyumi, sangat konsekuen memakai sarung, yaitu Mangunsarkoro, seorang Jawa dan Isa Ansari seorang Minang. Dalam Parlemen kita di tahun lima puluhan kedua anggota yang terhormat itu selalu memakai sarung di mana saja. Dan tidak kurang-kurang dihormati dan disegani orang. Dan juga tidak akan tambah dihormati, andaikata mereka memakai celana. Pandangan kita sekarang tentang serung dan celana sudah lain dari waktu Pak Tjokro berjuang dan sarung menjadi alat perjuangan.

Rok kostuum di Kongres Nasional Pertama

Pada rapat terbuka Kongres Nasional Pertama, yang diadakan di alun-alun Bandung, pada hari Minggu tanggal 18 Juni 1918, Pak Tjokro tidak memakai sarung, melainkan rok kostuum.

Pakaian ini sampai sekarang masih dipakai orang, sebagai pakaian internasional yang bersifat resmi. Seorang Duta Besar yang menyampaikan surat kepercayaan kepada Kepala Negara, kalau ia tidak mempunyai pakaian kebesaran nasional sendiri, dapat memakai rok kostuum. Orang kawin di Eropa memakai rok kostuum.

Penulis ingat pernah membaca, waktu Harry L. Hopkins, tangan kanan Presiden Roosevelt, di waktu Perang Dunia II, memakai rok kostuum, yang ia sewa waktu mau beraudiensi dengan Raja Inggris. Orang tidak perlu mempunyai rok kostuum sendiri, dapat menyewa, karena pakaian itu hanya dipakai sekali sekali pada saat yang jarang terjadi.

Seluruh “Centraal Bestuur” Sarikat Islam, menurut laporan Dr. G.A.J. Hazeau kepada G.G. Van Limburg Stirum, yang sudah penulis sebut tadi, memberitakan hal itu, dan penulis ini tidak mempunyai alasan untuk tidak mempercayainya. Memakai sarung sebagai alat perjuangan rasa-rasanya oleh Pak Tjokro sudah dianggap selesai, dan pada Kongres pertama, waktu Sarekat Islam sudah mendapat pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai partai yang meliputi seluruh tanah air, tampaknya ada tujuan hendak memperlihatkan, bahwa pergerakan yang dipimpin oleh Pak Tjokro, tidak hanya ditujukan kepada orang yang pakai sarung saja, melainkan juga bagi orang yang pakai celana Sarekat Islam tidak saja menuntut tanah air yang berdin sendiri dan kewarganegaraan yang bebas atas dasar persamaan tapi menunjukkan juga, bahwa rakyat di kepulauan ini ingin hidup dalam dunia yang lebih luas, dengan mengindahkan apa yang berlaku dan baik dalam dunia internasional.

Umat Islam yang dipimpin Pak Tjokro, meskipun tinggal di kampung dan desa, bukan rakyat kampungan tapi mempunyai cita-cita kemanusiaan yang luhur. Istilah “bangsa Indonesia” belum ada waktu itu, tapi kesadaran sudah lahir dan bertumbuh. Puncak pertumbuhan kesadaran dan kebangkitan itu akan dicapai di tahun 1928, dalam Sumpah Pemuda, bahwa “Kita berbangsa satu Bangsa Indonesia”.

Bagi pembaca yang belum tahu rok-kostuum, penulis dapat terangkan: ia terdiri dari jas hitam, bagian belakang panjang sampai lutut, kemeja putih, dasi putih, celana hitam, di samping pakai sebuah streep hitam mengkilat, dan sepatu hitam mengkilat (verlakt). Sempurnanya pakai topi tinggi, tapi ini cukup kalau hanya dipegang. Biarpun iklim Bandung dingin, pakaian itu rasanya masih terlalu tebal. Saya rasa, anggauta-anggauta Centraal Bestuur S.I. tidak memerlukan beli sendiri, tapi waktu itu di tempat seperti Bandung, di mana terdapat banyak orang Belanda, masih dapat disewa.

Suara Pak Tjokro

Menurut P.F. Dahler, seorang nasionalis Indonesia, pemimpin golongan Indo, Tjokroaminoto memiliki “een mooie, krachtige bariton stem” (suara yang merdu dan berat kuat). Istilah “bariton” mempunyai arti yang khusus dalam seni musik. Penulis ini pernah mendengarkan Pak Tjokro berpidato di rapat umum, yang dihadiri oleh beberapa ribu orang. Dari tiga pemimpin yang penulis sudah sebut Tjokro, Salim dan Sangadji, masing- masing orator “par exellence”, ahli pidato ulung, yang mempunyai gaya dan ciri sendiri sendiri.

Haji A. Salim umumnya dipandang sebagai orator yang brilian. Sangadji mempunyai suara seperti geledek. Perlu diingatkan, bahwa generasi Pak Tjokro belum berbahagia hidup dengan mik dan pengeras suara. Menurut ingatan penulis Pak Tjokro memang mempunyai keistimewaan. Orang di baris depan mendengar suara Pak Tjokro sama kerasnya dengan orang yang duduk di baris belakang, kecuali ia mampu mengikat perhatian pendengar berjam-jam.

Tjokroaminoto, Sukarno dan Harsono

Di akhir tahun 1966, tidak lama sesudah dibebaskan dari tahanan, penulis mendapat undangan untuk berkunjung ke Makasar. Salah satu acara kunjungan itu ialah memberi ceramah di Aula Universitas Hasanuddin. Kebetulan sekali Harsono Tjokroaminoto yang memimpin rombongan anggota parlemen sedang berada di Makasar, dan akan memberi ceramah juga di tempat dan waktu yang sama.

Harsono bicara lebih dulu, ia mempergunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata terhadap penulis. Itulah pertama kali ia bertemu dengan penulis, sesudah penulis dibebaskan. Kata-katanya baik, malah sangat manis. Penulis ini tidak sering mendengar dan melihat Harsono berpidato, tapi tiap kali mendapat kesempatan itu, ia mendengarkannya seperti orang terpaku. Harsono berpidato persis seperti seorang ahli pidato yang lain, yang kita semua kenal, yaitu Sukarno. Gayanya, nadanya, gerak-gerik tangannya dan bahasanya. Orang akan berhenti di situ, kalau tidak kenal Tjokroaminoto. Pada saat itu penulis merasa perlu menerangkan agar orang tahu, bahwa Harsono turunan Tjokroaminoto dan tidak meniru Sukarno.

Kalau dengan perkataan tidak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana Tjokroaminoto berpidato, penulis rasa orang dapat mengatakan, bahwa kalau orang pernah mendengar dan melihat Sukarno atau Harsono berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button