Prawoto Mangkusasmito: Teladan Ketua Masyumi Terakhir
Bukan hanya Masyumi yang gigih untuk memperjuangkan kembali eksistensinya, PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang juga dibredel Soekarno juga aktif melakukan usaha rehabilitasi. Di masa Soeharto, dalam Musyawarah Nasional III Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) dikeluarkan tuntutan agar partai-partai yang dibubarkan Soekarno (Masyumi, PSI, KAMI dan Murba) direhabilitasi kembali (3 Desember 1966). Tapi usaha itu lagi-lagi gagal.
Perjuangan Islam Lewat Parlemen
Dalam pidato-pidato usai pembubaran Masyumi, Prawoto sering menguraikan secara menarik isu-isu Masyumi waktu Soekarno berkuasa.
Salah satu diantaranya uraiannya mengapa Masyumi menolak tegas gagasan Presiden agar kabinet disangga empat kaki, yaitu Masyumi, NU, PNI dan PKI. “Kita tidak bisa berkompromi dengan kaum komunis sehingga sampai-sampai kita dinyanyikan berkepala batu,” urainya pada reuni Keluarga Besar Bulan Bintang di Jakarta, pada 24 Oktober 1966.
Prawoto dalam kesempatan itu juga menyebut adanya phobi kepada Masyumi. Ia menyebut ada mitos yang diciptakan (Soekarno dan pengikutnya) bahwa Masyumi anti Pancasila dan Masyumi akan membawa revolusi ke kanan.
Ia mengakui bahwa Masyumi memang berjuang menegakkan hukum Islam. Lain dengan beberapa “partai Islam” sekarang yang ragu-ragu memperjuangkan hukum Islam, dalam Anggaran Dasarnya, Masyumi secara eksplisit mencantumkan terlaksananya hukum Islam sebagai tujuan. Masyumi juga menegaskan bahwa anggota partai adalah mereka yang beragama Islam.
Perjuangan Masyumi untuk mendukung Piagam Jakarta, tidaklah setengah-setengah. Tokoh-tokoh Masyumi saat itu, rajin melobi partai-partai lain sehingga dukungan untuk Piagam Jakarta sampai meraih 43% suara dalam pemungutan suara di Konstituante. Tapi, perlu dicatat, menurut Prawoto, yang menolak Piagam Jakarta ada penyokong palsu. Yaitu PKI, yang saat itu setuju digunakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja.
Sebenarnya cukup aneh bila ada partai yang mengaku partai Islam, tapi agak enggan dalam memperjuangkan terlaksananya Islam dalam masyarakat dan negara. Padahal Soekarno sendiri yang mazhab ideologinya “gado-gado” pernah menyatakan silakan masing-masing golongan memperjuangkan ideologinya.
“Kalau pihak Islam menghendaki suatu Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan cita-citanya, berjuanglah sekeras-kerasnya di dalam permusyawaratan perwakilan itu. Jika golongan Kristen, ingin supaya cita-citanya termasuk Undang-Undang Dasar, berjuanglah sekeras-kerasnya juga,” kata Soekarno.
Karena itu, Hamka sebagaimana juga Prawoto tidak mengenal lelah untuk perjuangan tegaknya Islam itu. Hamka, ulama dan tokoh Masyumi lainnya sering mengingatkan, “Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum Syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu?’ Janganlah berbohong dan mengolok-olok jawaban. Katakan terus terang, bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Tuhan dalam Al-Qur’an kita pungkiri?” (Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 6).
Partai Islam mestinya kukuh dalam memegang prinsip-prinsip Islam dan sepatutnya mengambil keteladanan politisi-politisi Muslim pendahulu di negeri ini. Pertama, dalam berpolitik, ia dikenal pembela Islam, dan berani dalam menegakkan amar makruf nahi munkar dengan jalan konstitusional. Kedua, hidup dan berperilaku sederhana. Bukan untuk sekadar menumpuk kekayaaan atau bergaya-gaya telah memegang kekuasaan. Bila demikian tujuannya, apa beda dengan politisi sekuler?
Nah, bila politisi Muslim, khususnya mereka yang tergabung dalam Partai Islam, berperilaku sama dengan partai lain, khususnya tidak menjaga diri dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, maka bisa dipastikan masyarakat akan meninggalkannya. Nanti, yang tersisa adalah kader-kader yang kurang bermutu, yang tidak menjadi kebanggaan umat.[]
Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru.