Presiden dan Kapolri, Tolong Jangan Zalimi Umat Islam!
Sewaktu remaja di kampung Padangan, Bojonegoro, Jatim, saya punya teman polisi. Ia kadang-kadang ke surau. Ia cukup akrab dengan saya. Namanya K. Ia suka nyelutuk nyuruh saya ngisi pengajian. Karena ia mendesak, aku isi pengajian di surau kecil itu sebisaku.
Tapi yang nggak bisa ku lupa, kata-kata anehnya. Ia mengatakan bahwa laki-laki itu perlu variasi dalam hidupnya. Termasuk dalam beristri. Ia seperti tidak masalah dengan pelacuran. “Kalau jangan asem (sayur asem) terus, bosen,” katanya. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku mengatakan bahwa wah payah nih pemikiran polisi ini.
Maka, ketika remaja (SMA) dalam benakku polisi-polisi ini jarang yang baik. Apalagi aku pernah ditilang waktu naik motor. Karena aku nggak punya SIM, aku terpaksa mengeluarkan beberapa rupiah untuk polisi yang menilang itu. Dan itu kini lazim terjadi di masyarakat.
Semakin dewasa, aku melihat tidak semua polisi buruk. Ada juga polisi yang baik. Entah berapa persen. Di Depok ini aku punya tetangga –sekitar 200 m jarak rumahnya dari rumahku- seorang polisi yang bertugas di Brimob Kelapa Dua yang baik. Ia rajin ikut pengajian, pertemuan warga komplek dan rajin ke masjid. Namanya aku lupa.
Aku punya pengalaman ‘ngerjain’ polisi. Suatu ketika, sehabis ngajar di Akademi Dakwah Indonesia, aku pulang. Waktu menunjukkan sekitar 11.30. Melewati pertigaan Ramanda-Margonda menuju Lenteng Agung, aku dicegat polisi. Lokasinya sebelum DMall Depok. Aku dianggap melanggar peraturan melewati ruas jalan Margonda yang khusus mobil. Aku protes. “Ini nggak bener pak, peraturannya. Masak sepeda motor nggak boleh lewat sini. Rakyat kecil nggak boleh lewat sini. Jalan hanya untuk orang kaya yang bermobil, nggak bener nih pak,” kataku. Polisi itu jawab, ”Saya kan hanya menjalankan peraturan pak.” Saya kemudian menunjukkan kartu wartawan. Polisi itu akhirnya ngeluyur pergi, nyuruh saya jalan dan nggak jadi memeriksa STNK dan SIM saya.
Kasus itu pernah saya tulis di FB dan saya edarkan di grup warga Depok. Saya kirim juga ke anggota DPRD Depok. Ramai saat itu tanggapan dan dukungan pendapat saya. Kabarnya peraturan ruas jalan khusus motor/angkot dan khusus mobil pribadi itu mau dievaluasi, tapi entah mengapa sampai sekarang ‘plang peraturan’ yang bertengger di jalan Margonda itu masih berlaku. Padahal tiap hari ratusan (ribuan) motor melanggarnya.
Polisi atau tentara memang taat atasan. Saking taatnya, sehingga ketika atasannya melanggar hukum, ia kadang-kadang tetap melakukan perintahnya. Seperti yang dilakukan E terhadap J dalam kasus Ferdy Sambo.
Kasus Sambo ini menjadikan kepercayaan masyarakat kepada polisi merosot. Ramai beredar di medsos, tentang kejahatan dan berbagai pelanggaran polisi yang dilakukan di berbagai daerah. Mulai dari pemakaian narkoba, melindungi koruptor, terlibat dalam pembunuhan dan lain-lain.
Kasus Sambo ini juga menjadikan masyarakat –khususnya umat Islam- curiga, dengan kasus KM50 yang menewaskan enam pemuda Islam (laskar FPI). Saat itu Sambo memang bertugas untuk menangani kasus itu. Ia mengerahkan 30 anak buahnya untuk menuntaskan kasus itu.
Dengan skenario kebohongan yang dibuat Sambo di rumahnya Duren Tiga, masyarakat jadi curiga jangan-jangan Sambo juga merekayasa kebohongan dalam kasus KM50. Karena fenomenanya hampir mirip. CCTV mati, terjadi tembak menembak dan yang paling kasar, adalah TKP (rest area Km50) dihancurkan. Dengan diratakan dengan tanah TKP itu, maka saksi-saksi di warung-warung TKP itu tidak bisa dihadirkan. Juga kemungkinan ada DNA yang tertinggal di TKP itu juga hilang. Bila ini terjadi di luar negeri, tentu akan menjadi ‘skandal besar’ bagi pemerintah/kepolisian.
Tapi negeri ini bukan Inggris atau Amerika. Negeri ini hukum masih bisa ‘dipermainkan’.