Problematika Standar Ganda FIFA Dobrak Sekat Politik Bangsa
Lolosnya kualifikasi Israel dalam Piala Dunia U-20 2023 menuai reaksi pro kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Keadaan ini semakin memanas setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster menyatakan sikap penolakan terhadap kehadiran Israel atas dasar konstitusi. Kemudian pada Rabu tanggal 29 Maret 2023, FIFA secara resmi mengumumkan bahwa mencoret Indonesia dari status tuan rumah pada Piala Dunia U-20 2023. Menyikapi hal tersebut, Presiden Jokowi mengutus Erick Thohir untuk menemui FIFA di Doha, Qatar. Dengan harapan supaya dalam diplomasi PSSI dan jaminan pemerintah Indonesia ini dapat mengamankan status tuan rumah atas polemik Israel.
Memang Menyakitkan, Tapi Komitmen Bangsa Jauh Lebih Mulia
Amanat kontsitusi UUD NRI 1945 “Semua penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan…” Karena itulah tujuan negara ini dibangun. Sepakbola adalah urusan kesekian dari prioritas berbangsa. Pada tahun 1962 pun Presiden Pertama Republik Indonesia, Bapak Bangsa Indonesia, Ir. Soekarno menegaskan bahwa “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang Israel. Kami bangsa Indonesia konsisten dengan Janji tersebut”.
Sejatinya, Indonesia tidak menganggap Israel sebagai negara (tidak mengakui kedaulatannya), bukan berarti membenci. Karena syarat sah mengikuti piala dunia juga adalah negara yang berdaulat, maka secara tidak langsung kita mengakui semua yang ikut piala dunia adalah negara yang berdaulat. Israel akan melakukan apa saja agar bisa diterima oleh negara-negara di dunia, namun tidak serta merta bisa menggugurkan statusnya sebagai negara yang sedang menjajah.
Inkonsistensi FIFA dalam Menggunakan Otoritasnya
FIFA adalah organisasi global yang dianggap netral, namun berkaca dari yang lalu, belum lama ini FIFA menolak Russia Piala Dunia Qatar dengan alasan kemanusiaan karena serangan ke Ukraina. Ini bukan hanya tentang persoalan boleh tidaknya Israel bermain di Piala Dunia U-20 dengan tuan rumah Indonesia, tetapi sikap tidak konsisten FIFA yang berkaitan dengan pemisahan antara Olahraga dan Politik. Sehingga kasus Russia batal menjadi peserta adalah bukti nyata. Selain itu pada tahun 1976 juga FIFA mencoret Afrika Selatan dari keanggotaan badan ini terkait kebijakan Apartheid. Namun hal serupa ini tidak dilaksanakan terhadap Israel padahal oleh Amnesty Internasional serta pelapor spesial di Dewan HAM PBB, Israel juga disebut sebagai negara Apartheid. Ini FIFA tidak adil dan perlu di tuntut.
Sikap Sebagian Rakyat RI Sudah Tepat, Yaitu Sesuai Konstitusi
Melihat jejak historis bangsa yang terekam dalam konstitusi. Sebetulnya sikap Indonesia sangat istiqomah sejak dulu mendukung Palestina, tidak memberi ruang di NKRI bagi Israel. Palestina senasib dengan pahlawan terdahulu, bagaimana tangisnya hati dan hidup yang dirantai oleh bangsa asing ditanah sendiri. Sehingga, apa yang menjadi kesepakatan Bersama bahwa “Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan” ini harus tetap dijaga sebagai prinsip bangsa Indonesia. Sampai kapanpun juga nilai itu merupakan gagasan yang selaras dengan nilai kemanusiaan yang pasti diterima secara universal, tidak ada bangsa dan negara manapun yang mau dijajah.
Terlepas dari case sepak bola, penolakannya ini juga berdasar bukan tanpa dasar, bahwa ketentuan mengenai delegasi dan tidak diizinkan pengibaran bendera lambang dan lagu kebangsaan ini memang dimuat dan diperkuat dalam PERMENLU No 3 Tahun 2019. Dunia akan melihat kagum terhadap Indonesia karena masih memegang teguh janji para pahlawan. Berangkat dari hal tersebut, Indonesia yang mengundang secara eksplisit maka argumen menolak kedatangan Israel dapat dibenarkan secara konstitusi, lain halnya kalau kedatangan tim olahraga Israel sebagai bagian dari anggota suatu komunitas maka kedatangannya adalah SAH.
Lantas Apa Solusinya?
Disini kita harus menyatakan sikap untuk memilih apakah akan tetap teguh dengan pendirian dan komitmen terhadap ideologi kemanusiaan sekaligus judge standar ganda FIFA yakni dengan menolak Timnas negara Agresor (menyatukan politik dan olahraga) atau tetap menjalankan sedemikian rupa dengan harapan supaya meningkatkan berbagai aspek (mengesampingkan urusan politik dari olahraga). Namun kedua sikap ini adalah win-lose solution, pilihan manapun akan ada negatif positifnya. Kecuali FIFA tidak standar ganda dan mengizinkan Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara Piala Dunia U-20 dengan melarang Israel sebagai bentuk sanksi politik sebagai negara Agresor.
Kesimpulan
Penuh polemik memang, sejatinya Sepakbola tidak ditunggangi politik namun FIFA sendiri melanggar dan melakukan standar ganda dengan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia tetapi disisi lain mengizinkan Israel mengikuti kalendernya. Persoalan standar ganda ini kiranya FIFA perlu dilobi ke forum lain beserta anggota FIFA yang lain. Bukan malah ditabrakan dengan event yang akan berlangsung.
Mengangkat konstitusi dari Indonesia terhadap Israel yang kemudian ditabrakan secara frontal dengan event yang seharusnya menjunjung tinggi Fair Flay ini sangat tidak relevan. Piala Dunia itu eventnya FIFA, disini Indonesia hanya sebagai Host / Pelaksana. Menyikapi nilai tawar FIFA yang berharap maklum terhadap nilai konstitusi itu tidaklah nyambung. Semoga di masa depan Timnas Indonesia dapat bermain di Piala Dunia bukan melalui jatah tuan rumah tetapi karena prestasi. Ini bukanlah akhir dari segalanya, stand point kita ideologi, konstitusi dan humanity of world.
Iwan Sumiarsa, S.H dan Tita Nurhayati, S.H
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Rakyat