Program JHT Eksploitasi Pekerja?
Menaker telah menetapkan aturan pencairan dana JHT (Jaminan Hari Tua) bagi para buruh dan pekerja. Aturan tersebut tertuang dalam Permenaker No 2 Tahun 2022. Dinyatakan bahwa syarat pencairan dana JHT adalah saat pekerja sudah berusia 56 tahun. Kalaupun sebelum 56 tahun, pekerja bisa mengklaim JHT asalkan dalam kondisi cacat dan atau meninggal dunia.
Desain Menaker adalah JHT itu program jangka panjang di hari tua. Oleh karenanya, dana JHT akan diinvestasikan sehingga uang pekerja saat dicairkan akan dalam jumlah yang besar.
Sebenarnya program JHT itu diperoleh dari pemotongan dua persen dari gaji pekerja tiap bulannya. Artinya pekerja telah menabung. Seharusnya kapan pun pekerja membutuhkannya, mereka bisa mengambil tabungannya. Atas dasar demikianlah, Permenaker No. 2 Tahun 2022 mendapatkan sorotan tajam. Bahkan terjadi demo buruh menolak aturan Menaker tersebut selama sekitar dua pekan terakhir.
Saat ini di dana JHT yang terkumpul di BPJS Kesehatan atau BP Jamsostek mencapai Rp490 triliun per April 2021. Dana yang jumbo ini diinvestasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Porsi terbesar investasi adalah SUN (Surat Utang Negara) dan Korporasi sebesar 66 persen. Investasi ke saham 13 persen, deposito 12 persen, reksadana 8 persen dan investasi langsung satu persen. Hal demikian yang menempatkan BP Jamsostek sebagai investor lokal terbesar. Sepanjang 2021 hasil investasi BP Jamsostek mencapai Rp24 triliun.
Jadi tidak bisa disalahkan bila ada yang mengkritik bahwa dana JHT digunakan untuk membiayai defisit APBN melalui mekanisme SUN. SUN merupakan cara pemerintah untuk mengajak masyarakat ikut membiayai pembangunan dan menutup defisit APBN. Pemerintah menjual surat berharga berupa SUN pada masyarakat. Tentunya dengan imbalan profit. Hanya saja persoalannya, apakah saat klaim jatuh tempo, investasi tersebut bisa dicairkan pada masyarakat? Istilah lainnya, saat rakyat menagih utang pada negara, apakah negara bisa melunasinya?
Ambil contoh, seorang warga Padang Harjanto yang ditolak gugatan piutangnya pada negara. Ia berinvestasi Rp60 miliar dalam bentuk obligasi di SUN tahun 1950. Anehnya gugatannya ditolak dengan alasan kedaluarsa dari tahun pelunasan yakni 1978 sesuai KMK (Keputusan Menteri Keuangan) No. 466a Tahun 1978. Pendek kata, negara telah gagal bayar utang. Alibinya utang itu telah kedaluarsa. Lalu sejak kapan utang bisa kedaluarsa?
Apalagi dalam kondisi pandemi ini, APBN mengalami defisit. Utang luar negeri yang menggunung mencapai Rp6700 triliun. Belum lagi ada Mega proyek IKN. Sumber dana dari BUMN atau BUMD dialokasikan sekitar 26 persen.
Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa poin eksploitasi pekerja dalam program JHT.
Pertama, pekerja yang notabene rakyat harus menjamin kesejahteraannya sendiri di hari tua. Artinya mereka akan tersedia dana yang mencukupi di hari tua, bila masa mudanya bekerja dengan semaksimal mungkin.
Kedua, pekerja harus membiayai negara dengan alibi program JHT. Investasi terbesarnya JHT adalah untuk SUN dan korporasi.