OPINI

Rakyat Boleh Mengritik, Yakin Para Buzzer Nggak Melapor?

Pernyataan Presiden Joko Widodo, supaya masyarakat lebih aktif mengritik pemerintah, menuai polemik. Memunculkan tanda tanya besar bagi publik. Sejumlah pihak menilai, ucapan presiden ini tidak sejalan dengan praktik kritik yang terjadi. Sebab tidak sedikit kritik yang berakhir dengan laporan ke polisi.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum untuk Semua (YLBHI) Asfinawati ikut berkomentar. Ia menyebut pernyataan presiden kontra narasi dengan berbagai data dan indeks tentang pelanggaran hak sipil dan kemunduran demokrasi Indonesia. (tempo.co, 15/2/2021).

Pernyataan Asfinawati tentu memiliki dasar. Hasil sigi Indikator Politik Indonesia pada 25 Oktober 2020, mencatat 57,7 persen masyarakat setuju bahwa aparat makin sewenang-wenang dalam menangkap rakyat, yang tidak sejalan pandangan politiknya dengan pemerintah. (tempo.co, 15/2/2021). Sementara itu, The Economist Intelligence Unit (EIU) melaporkan Indeks Demokrasi Indonesia menurun pada 2020. Tercatat Indonesia hanya mendapatkan skor 5,59 untuk kebebasan sipil. (kompas.com, 9/2/2021).

Senada dengan Ketua YLBHI, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) Damar Juniarto menilai, masyarakat lebih memilih untuk menahan diri tidak mengritik karena regulasi yang mengancam kebebasan berpendapat. Sejumlah regulasi tersebut antara lain Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Situs Internet Bermuatan Negatif, UU Penyadapan, hingga UU Penyiaran. (kompas.com, 9/2/2021).

UU ITE pun tidak hentinya menjadi sorotan. Menjadi momok menakutkan bagi rakyat untuk bebas bersuara. Fakta berbicara, sudah banyak rakyat menjadi korban aturan ini. Dikutip dari kompas.com, 9/2/2021, data Koalisi Masyarakat Sipil mencatat dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman 96,8 persen (744 perkara). Sedangkan, tingkat pemenjaraannya mencapai 88 persen (676 perkara). Ngeri!

Tidak heran jika publik pun pesimis menanggapi pernyataan presiden. Mayoritas warganet berkomentar bahwa selama UU ITE masih eksis, lebih aktif mengritik hanya utopis. Publik pun tidak ingin terjebak dengan pernyataan presiden. Sebab dapat saja terjadi, dijamin lantang bersuara, dibungkam setelah bersuara. Alhasil, pernyataan presiden seolah hanya retorika, selama tidak dibarengi dengan bukti nyata.

Katanya negeri demokrasi, nyatanya bebas mengritik hanya ilusi. Aktif mengritik tuan penguasa dan oligarki, acap kali berbuah jeruji besi. Pasal karet UU ITE, kerap mengancam kritik pedas milik rakyat. Akhirnya, rakyat pun takut bersuara kritis, sebab tak berkutik dengan sederet regulasi pembungkam kritik.

Keberadaan para buzzer Istana pun makin memperkeruh suasana. Menyerang siapa saja yang mengritik pedas rezim penguasa. Tak jarang masalah pribadi pun dibongkar dan disebarluaskan. Ujung-ujungnya, lapor ke polisi dengan dalih pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button