SUARA PEMBACA

Rakyat Dipalak Negara

Setelah batalnya pemberangkatan jamaah haji tahun ini dan serentetan fakta menyedihkan yang mengekor padanya, publik kembali dibuat geleng-geleng kepala. Adanya rencana pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sembako dan jasa pendidikan menyeruak belakangan ini.

Dalam draft Revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah akan mengenakan pajak pada barang-barang tertentu yang sebelumnya bebas tarif PPN, termasuk sembako dan jasa pendidikan. Sembako yang akan dikenakan tarif PPN meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi (Kompas.com, 10/6/2021).

Sungguh tragis nasib rakyat dalam jeratan sistem kapitalisme hari ini. Seolah dipalak oleh negara sendiri, bahkan pada cakupan kebutuhan pokok pun rakyat masih harus membayar pajak di tengah mahalnya harga sembako kini. Segala sesuatu menjadi serba sulit dan mencekik.

Baca juga: PPN Sembako dan Sekolah, Ironis!

Melihat pelbagai celah kehidupan rakyat disusupi oleh pajak merupakan pemandangan yang tidak asing dalam lingkungan kapitalisme. Penerapan sistem  kapitalisme akan secara otomatis menjadikan pajak sebagai tulang punggung ekonomi dan pembangunan negara. Rakyat akan dicekoki pemahaman bahwa sumber pendapatan negara adalah pajak semata. Sehingga tidak memungkinkan negara dapat menjalankan aktivitasnya sebagai sebuah negara yang meliputi pembangunan maupun pelayanan publik tanpa adanya pajak. Pemahaman keliru inilah yang kemudian memaksa rakyat untuk membayar pajak bagaimanapun kondisi perekonomiannya.

Fenomena yang demikian itu, semakin membuat rakyat muak pada pemerintahan hari ini dan sungguh menginginkan kehidupan yang sejahtera dan tentram. Kehidupan yang tidak akan bisa kita temui selain pada kehidupan yang diatur dengan syariat Islam. Kita telah memahami bahwa Islam bukan hanya sebagai agama spiritual tetapi juga merupakan sepaket komplit aturan kehidupan yang sempurna. Termasuk di dalamnya aturan tentang politik dan ekonomi sebagai dua suprasistem dari pengaturan kehidupan.

Jika kita bertolak pada sistem ekonomi Islam maka akan kita dapati bahwasannya pendapatan negara bisa diperoleh dari berbagai macam sumber.

Pertama, pendapatan utama negara bersumber dari pengolahan sumber daya alam secara mandiri. Adapun swasta dan asing hanya akan berperan sebagai pekerja jikalau negara membutuhkan sebab tidak sanggup mengelolanya. Bukan seperti kondisi hari ini ketika swasta dan asing menjadi partner bahkan bisa menjadi pemilik atas SDA melimpah negeri ini. Sumber daya alam melimpah yang Allah karuniakan di setiap negeri kaum muslimin merupakan sumber pemasukan yang menjanjikan. Kekayaan yang ada di darat maupun di laut, yang ada di perut bumi maupun yang berada di permukaan, sangatlah cukup untuk mengurusi urusan umat dan memenuhi kebutuhan dasar individu per individu rakyat.

Baca juga: Muhammadiyah Tegas Tolak PPN Pendidikan

Kedua, negara bertanggungjawab menarik dan mengelola zakat dari muzakki, yakni orang yang berkewajiban membayar zakat untuk kemudian disalurkan kepada yang berhak menerima zakat sesuai dengan pengaturan Islam.

Ketiga, sumber pemasukan negara selanjutnya yakni harta ‘usyur atau pungutan terhadap lalu lintas ekspor dan impor yang dilakukan dengan pihak asing baik dalam wujud negara maupun individu di luar warga negara. Hari ini pendapatan dari sektor tersebut menjadi sangat minim karena Indonesia terikat pada komitmen internasional seperti bebas cukai, bebas bea masuk dan keluar terhadap barang yang dimiliki oleh negara maupun individu di luar warga negara.

Dalam pengaturan Islam, pajak atau gharibah hanya akan dikenakan oleh negara dalam keadaan darurat saja. Keadaan yang dimaksud yakni pada saat harta pemasukan dari hasil pengelolaan SDA yang berada di baitul maal tidak mampu memenuhi kewajiban negara seperti membayar pegawai, memenuhi kebutuhan dasar individu per individu rakyat, serta untuk melakukan aktivitas jihad. Pajak ini pun tidak serta merta berlaku bagi semua warga negara. Akan tetapi dikenakan hanya pada mereka yang mampu.

Dalam sistem Islam, negara bukan berperan sebagai pemugut pajak. Negara adalah pemberi kabar gembira pada rakyat karena mereka bisa mendapatkan berbagai fasilitas secara gratis dan berkualitas yang meliputi layanan pendidikan, kesehatan, jaminan keamaan, dan lain sebagainya. Terwujudnya kondisi ini tidak lain merupakan hasil dari pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara sehingga rakyat bisa merasakan hasilnya.

Sudah sepatutnya kita akhiri sistem yang meniscayakan negara untuk memalak rakyatnya ini. Saatnya untuk ikut andil dalam perjuangan penegakan sistem Islam. Hadanallu waiyyakum.

Muntik A. Hidayah, Pegiat Literasi dan Komunitas Pena Langit

Artikel Terkait

Back to top button