NASIONAL

Sembako dan Pendidikan Mau Dipajaki, Bukhori: Kehilangan Akal Konstitusi

Jakarta (SI Online) – Pemerintah berencana memperluas objek pajak yang akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) demi mengerek kas negara. Rencana ini tertuang dalam perubahan kelima atas Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Salah satu yang menjadi sorotan sehingga menimbulkan polemik adalah ketentuan dalam draf RUU Revisi UU KUP yang tidak lagi mengecualikan jasa pendidikan dan sembako sebagai objek pajak yang dikenakan PPN.

Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menyebut rencana pemerintah untuk mengenakan pajak bagi sembako dan jasa pendidikan sebagai tindakan yang sudah kehilangan akal konstitusi.

“Ini akan menjadi tikaman dari belakang terhadap rakyat bila wacana ini benar-benar terealisasi. Apalagi sebelumnya, Menteri Keuangan seolah sembunyi-sembunyi dalam merencanakan ini sampai akhirnya dokumen RUU itu bocor di tengah publik. Rakyat sudah susah, jangan bebani dengan pajak,” ungkapnya.

Anggota Komisi Sosial ini menegaskan kepada pemerintah supaya kembali berpedoman pada amanat konstitusi, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat konstitusi meminta pemerintah untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan, bukan kesengsaraan bagi masyarakat yang tengah berjuang bertahan hidup di masa pandemi.

Baca juga: Sri Mulyani: Kita Tidak Pungut PPN Sembako, tapi…..

Di sisi lain, politisi PKS ini juga melihat adanya bentuk ketidakadilan kebijakan sehingga mempertajam kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Misalnya, Bukhori menyandingkan wacana PPN bagi sembako dan sekolah dengan pemberian stimulus konsumsi kelas menengah oleh pemerintah berupa relaksasi pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sektor otomotif. Sehingga, diskon pajak bisa mencapai 100% atau PPnBM mulai 0% untuk pembelian mobil baru.

“Kelompok menengah ke atas berduyun-duyun membeli mobil baru sementara orang miskin justru akan dibebani dengan pajak. Ini akan memecah belah masyarakat akibat dimensi ekonomi dan sosial mereka dipengaruhi oleh model kebijakan yang timpang,” imbuhnya.

Lebih lanjut, anggota Badan Legislasi ini mencemaskan apabila bahan sembako dikenakan PPN akan berimbas pada peningkatan harga jual barang. Kenaikan ini, lanjutnya, akan menekan daya beli masyarakat sehingga berdampak pada pengurangan belanjanya.

Akibatnya, pemulihan ekonomi akan terhambat karena daya beli masyarakat yang turun. Kendati demikian, kekhawatiran ini sesungguhnya tidak akan terjadi apabila diimbangi juga dengan perluasan dan peningkatan bantuan sosial dari segi nominal dan jumlah penerima manfaat secara memadai.

“Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 mencapai 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian, dampak sosial yang tidak bisa dihindarkan apabila wacana ini direalisasikan adalah terjadinya ledakan kemiskinan. Sebab, bahan makanan menyumbang 73,8% dari total komponen garis kemiskinan,” jelasnya.

Terkait wacana pungutan pajak untuk jasa pendidikan, dosen sekaligus politisi ini meminta pemerintah untuk tidak memaknai sektor pelayanan publik di bidang pendidikan sebagai komoditas untuk menambah kas negara. Sebab itu, ia mengimbau pemerintah untuk mengambil cara lain yang lebih bermaslahat, misalnya pengenaan pajak tinggi bagi perusahaan yang mengeksploitasi SDA Indonesia.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button