SUARA PEMBACA

Ramadhan: Momentum Wujudkan Persatuan Umat!

“Kami adalah saudari-saudari muslimah kalian di Palestina. Kami tumbuh di medan ribath dan jihad. Dan kami selalu berusaha untuk berpegang teguh pada agama kami yang agung, serta mendidik anak-anak kami untuk itu,” inilah sepenggal isi surat dari seorang saudari dari Palestina.

Pernah terbayangkah oleh kita, hidup senantiasa dalam suasanya peperangan, bertabur debu-debu jihad, dan kabar-kabar kematian. Hingga hari ini, lebih dari 27.000 jiwa meregang nyawa di Palestina dari Oktober tahun lalu.

Nasib yang demikian miris tidak hanya terjadi di sana, tapi juga di berbagai belahan bumi lainnya. Di China, sedikitnya satu juta jiwa dari 10 juta warga Uighur menghilang dalam camp-camp konsentrasi China, mengalami penyiksaan fisik dan psikologis.

Di Myanmar, 2017 lalu menjadi saksi, sekitar 6700 muslim Rohingya tewas hanya dalam waktu sebulan dalam peristiwa pembantaian massal etnis Rohingya. Kini saudara kita itu terpaksa bertahan dengan di pengungsian tanpa kejelasan akan nasib mereka.

Tragedi muslim Kashmir tidak kalah menyesakkan dada, 1947 lebih dari 500.000 muslim dibunuh oleh militer Hindu India. Tidak berhenti disana, tahun 1991 menjadi ingatan kelam sejarah dunia, insiden Kunan Poshpora, ketika puluhan musimah Kashmir diperkosa oleh tentara India.

Tinggal menghitung hari kita memasuki bulan berkah, bulan penuh rahmat, Ramadhan. Akankah Ramadhan tahun ini membawa perubahan pada nasib mereka?

Namun sayangnya, Ramadhan kita memang tak pernah sama dengan mereka. Saat kita tengah sibuk memikirkan menu sahur dan berbuka, mereka, saudara di Palestina bahkan berpuasa tanpa keduanya.

Ramadhan kita tak pernah sama dengan mereka. Saat kita tengah sibuk memilih baju terbaik untuk hari raya, mereka sibuk mencari perisai terbaik untuk lindungi tubuh rapuh anak-anaknya.

Faktanya, Ramadhan kita memang tak pernah sama dengan mereka. Kala kita bergembira dengan puasa kita, saudara muslim Uighur justru mendapat larangan keras untuk menjalankannya.

Sungguh, Ramadhan kita tak sama dengan mereka. Ketika kita bisa dengan nikmatnya menyantap hidangan berbuka, saudara kita etnis Rohingya menjalankan Ramadhannya dengan kecemasan, jauh dari kampung halaman.

Lantas, inikah yang dikatakan sebagai satu tubuh, ketika satu bagian merasakan sakit maka sakitlah keseluruhan tubuhnya? Inikah umat yang dikabarkan Rasul sebagai satu bangunan yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain?

Tahun 1916 menandai peristiwa itu, kekalahan Khilafah Utsmaniyyah pada Perang Dunia I membawanya pada strategi terkutuk Perjanjian Sykes-Picot. Memecah belah kesatuan umat ini. Umat yang satu kini terpecah oleh garis-garis batas khayal dalam kungkungan nation state, negara bangsa. Satu bentuk negara yang belum pernah dikenal oleh dunia sebelumnya. Inilah kita hari ini, dengan bangga memegang bendera-bendera bukti keterjajahan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button