NASIONAL

Rekomendasi Bank Dunia: Ilusi Tuntaskan Kemiskinan Massal

Bank Dunia merilis laporan bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” pada Kamis, 30/1/2020. Laporan tersebut mencatat ada 115 juta penduduk yang masuk dalam katagori ‘Aspiring Middle Class’. Kategori ini bisa diasumsikan sebagai kelas menengah ‘tanggung’ atau di ujung jurang. Katagori ini belum mencapai pendapatan yang aman. Sehingga rentan menjadi miskin. (cnnindonesia.com, 30/1/2020).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan nasional per September 2019, mencapai angka 9,22% dari total penduduk. Bila perekonomi terus diguncang resesi ekonomi global, dipastikan akan ada 115 juta penduduk atau 45% penduduk Indonesia yang terancam miskin di tahun-tahun mendatang.

Melihat kondisi tersebut, Bank Dunia pun merekomendasikan tiga program strategisnya. Pertama, meningkatkan gaji dan tunjangan guru. Yakni dengan memperbaharui sistem manajemen kinerja guru dan sertifikasi ulang guru yang dilakukan secara berkala. Kedua, meningkatkan anggaran kesehatan. Ketiga, memperluas basis pajak. Dan keempat, menyeimbangkan kembali (re-balancing) transfer fiskal. (katadata.co.id, 2/2/2020).

Rekomendasi Bank Dunia Benarkah Mujarab?

Rekomendasi Bank Dunia tersebut seolah menjadi obat mujarab untuk menuntaskan masalah kemiskinan di Indonesia. Mengingat kemiskinan menjadi masalah serius yang dihadapi negeri ini. Padahal pemimpin negeri ini boleh saja datang silih berganti. Tetapi, kemiskinan menjadi masalah yang tidak juga kunjung usai. Lalu mujarabkah rekomendasi Bank Dunia ini terhadap masalah kemiskinan Indonesia?

Pengentasan kemiskinan total sejatinya hal yang mustahil dalam sistem kapitalisme-demokrasi. Upaya penuntasan hanya ditujukan untuk menurunkan angka kemiskinan, melalui otak-atik angka dengan standarisasi/ukuran dari lembaga dunia dan pemerintah. Bukan menghilangkan kemiskinan secara nyata dan tuntas hingga ke akar.

Berbagai rekomendasi dan solusi yang ditawarkan pun merupakan solusi tambal sulam. Obat lama yang dikemas baru. Sebagaimana rekomendasi Bank Dunia, sejatinya merupakan resep lama yang sudah dipraktikkan.

Misal, rekomendasi tentang kesejahteraan guru melalui sertifikasi, sebenarnya bukan hal yang baru. Walau sebenarnya program ini tidak berkaitan secara langsung dengan kualitas hasil pendidikan. Sementara di sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan penghapusan guru honorer, yang membuka lebar pintu pengangguran dan kemiskinan.

Peningkatan anggaran kesehatan juga tidak akan banyak berpengaruh, selama BPJS Kesehatan masih ada. Sebab, peningkatan anggaran sama saja meningkatkan iuran peserta BPJS Kesehatan. Sebagaimana yang terjadi pada awal tahun ini. Alih-alih mengurangi kemiskinan, yang ada ekonomi rakyat semakin tercekik.

Pajak yang selama ini jadi instrumen favorit berbagai masalah ekonomi ala kapitalisme. Termasuk untuk mengentaskan kemiskinan. Faktanya, juga ibarat lingkaran setan yang tidak berujung. Misal, peningkatan pajak tembakau, dananya juga dialirkan untuk sektor kesehatan. Sedangkan 70% pasien BPJS Kesehatan adalah perokok. Sebuah ironi, menikmati pajak rokok untuk membiayai pasien perokok.

Perluasan basis pajak sebagaimana rekomendasi Bank Dunia, sejatinya menunjukkan semakin banyak rakyat yang akan dipajaki dengan berbagai macam pajak. Alih-alih meningkatkan taraf hidup rakyat, sebaliknya taraf hidup rakyat terancam menurun.

Jelas, rekomendasi tersebut obat lama yang tidak lagi mujarab. Walaupun kemasannya diperbaharui, terbukti gagal menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebaliknya jika rekomendasi ini terus saja diterapkan, kemiskinan massal menjadi ancaman serius untuk Indonesia. Sebuah kondisi laten yang diakui para ahli sebagai penyakit bawaan kapitalisme.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button