OPINI

Rezim Sekuler Pembela Penista Agama

Awalnya yang sering membawa bendera dan Panji Rasulullah SAW, yaitu Al-Liwa Al-Rayah dengan lafaz tauhid “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah” adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).

Setiap kali aksi ada yang membawa bendera tauhid kita pasti akan menyimpulkan bahwa itu HTI. Namun, mulai saat ini, semua orang, kelompok membawa bendera dan Panji Rasulullah SAW. HTI hanya sebatas memperkenalkan dan mengembalikan kepada pemiliknya yaitu umat Islam.

Reuni 212 tahun ini dengan mengangkat tajuk #BelaTauhid diangkat sebagai respon terhadap pembakaran bendera tauhid yang terjadi bertepatan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2018 lalu di Kabupaten Garut. Bukannya ditindak, rezim justru melindungi dengan vonis abal-abal, 10 hari dan denda 2000 rupiah. Atau terkena pidana Pasal 174 KUHP. Pasal ini menitikberatkan pada dengan sengaja mengganggu rapat umum, dengan mengadakan huru hara, atau membuat gaduh. Jika dilihat dari waktu dan tempat kejadiannya.

Polda Jawa Barat dan Polres Garut telah melakukan gelar perkara terbuka. Pembakaran itu diduga dilakukan setelah upacara atau rapat peringatan hari santri. Sehingga pembakaran tersebut dinyatakan tidak mengganggu rapat umum atau peringatan hari santri dan juga tidak terjadi huru hara pada saat itu. Penegak hukum memfokuskan pada dampak perbuatan, bukan pada objek perbuatan. Objek perbuatannya adalah pembakaran bendera tauhid.

Ironis. Pengarusan opini yang dilakukan pemerintah justru terkesan membela pelaku penista agama. Menganggap bahwa aksi pembakaran bendera tauhid bukan sebagai prilaku kriminal. Bahkan pemerintah masih saja ngotot menyebut bahwa yang dibakar adalah bendera HTI. Setali tiga uang dengan ormas yang anggotanya telah membakar bendera Tauhid pada peringatan HSN di Garut. Padahal MUI telah menyatakan itu bukanlah bendera HTI tapi bendera Rasulullah SAW. Benderanya seluruh kaum Muslim sedunia.

Islam Dinista, Penguasa Bungkam Seribu Bahasa

Sayangnya, bukan sekali ini saja Islam dinistakan. Tentu kita ingat sudah berulang kali syariat Islam dihina baik melalui lisan elite politik negeri, komika melalui komedi, parodi anak muda, hingga masyarakat biasa di media sosial. Kasus penistaan agama ini bukan lagi suatu fenomena baru di tengah-tengah masyarakat, melainkan seolah-seolah telah menjadi sebuah siklus.

Adanya penistaan yang terus berulang ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan demokrasi yang menjamin kebebasan dalam kehidupan. Demokrasi yang merupakan sistem politik buah pikir Plato dan Aristoteles, menjamin kebebasan salah satunya kebebasan berpendapat. Adanya kebebasan berpendapat ini menjadikan setiap individu memiliki hak untuk mengutarakan pendapat atau opininya tentang segala sesuatu termasuk syari’at Islam. Meski kebebasan di negeri ini dikatakan dibatasi dengan konstitusi, tapi tidak jarang justru mengangkangi konstitusi kalau sudah tentang penghinaan terhadap ayat-ayat suci.

Ditambah lagi, para pelaku merasa ada angin segar ketika sistem hukum warisan penjajah ini tidak memberi efek jera bagi para pelaku. Hukum kurungan ditambah denda sebagaimana termaktub dalam undang-undang penistaan agama dirasa cukup untuk menghukum para pelaku. Padahal, alih-alih jera, justru menjamur berbagai penistaan dengan gaya dan motif berbeda.

Di sisi lain, api adu domba terhadap kelompok-kelompok dakwah Islam pun terus membara. Dengan pengkotak-kotakan Islam dan politik belah bambu, rezim ini seolah-olah membiarkan terjadinya perpecahan yang mengancam keharmonisan umat. Seolah-olah, umat ingin dibuat sibuk dengan konflik internalnya sehingga lalai dalam agenda utama dan bersama yang seharusnya mereka kerjakan, yakni kembali menerapkan hukum-hukum Allah secara sempurna.

Lewat kasus pembakaran bendera tauhid,wajib diwaspadai kaum Muslimin saat ini adalah stigmatisasi negatif terhadap panji Ar-Rayah sebagai bendera teroris (irhabiyyah) dan adanya upaya kriminalisasi terhadap para pengembannya. Serta tuduhan bagi yang mengenakan atribut Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah sebagai kelompok HTI, ISIS dan lainnya. Padahal tidak ada relevansi sama sekali antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam, dan panji Ar-Rayah sebagai syi’ar Islam yang justru dijadikan barang bukti tindak kejahatan.

Upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam, hakikatnya bagian dari penyesatan opini, yang menjadi bagian dari visi misi iblis dan sekutunya yang benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, dan menyesatkan mereka semua dari kebenaran.

Allah ta’ala berfirman, “Ia (iblis) berkata, Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr : 39)

Dalam Sirah Nabawiyah, kejahatan ini telah dipraktikkan kaum Kuffar yang menstigma negatif wahyu Allah sebagai sihir dan dongeng-dongeng orang terdahulu dan Rasul-Nya sebagai orang yang hilang akal, dukun, dan penyair. Itu semua dilakukan demi menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.

Kebatilan tersebut, kini tampil dalam kemasan baru, menstigma negatif simbol dan ajaran Islam sebagai simbol terorisme dan ajaran radikalisme.

Nurina Purnama Sari, S.ST.
(Komunitas Muslimah Menulis)

Artikel Terkait

Back to top button