SUARA PEMBACA

RUU Larangan Minol Digulirkan, Siapa Dirugikan?

Rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol menuai polemik. Banyak yang mendukung. Tidak sedikit pula yang menolak. Membuka perdebatan yang berkepanjangan, yang tak ada ujungnya. Inilah gambaran masyarakat dalam naungan kapitalisme-demokrasi. Halal dan haram pun jadi ajang perdebatan. Akankah solusi kemaslahatan umat dapat diraih?

Diberitakan Kompas.com, 13/11/2020, dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama, rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol kembali digulirkan DPR. Draft RUU ini memuat aturan melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minuman beralkohol di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). RUU itu juga mengatur sanksi pidana bagi mereka yang mengkonsumsi minuman keras.

RUU ini memang memuat beberapa pasal larangan, tapi juga memuat pengecualian tentang konsumsi minuman beralkohol yang diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Jalan RUU ini sepertinya cukup terjal. Tidak adanya data akademis yang menunjukkan relasi jumlah kasus kriminalitas akibat minuman beralkohol menimbulkan rasa pesimis. Di sisi lain, data Kementerian Keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi pada perekonomian negara dengan nilai sekitar Rp7,3 triliun tahun lalu. (bbcindonesia.com, 13/11/2020). Tak ayal tidak sedikit pihak yang angkat bicara merespon bergulirnya kembali RUU ini.

Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf misalnya. Ia mengungkapkan, Indonesia saat ini sudah dalam keadaan amat darurat minuman beralkohol. Menurutnya, butuh pendekatan yang lebih progresif untuk menyelamatkan masa depan bangsa dari dampak merusak minuman beralkohol.

Ketua DPP PKS ini juga mencermati bahwa regulasi yang sudah ada bersifat parsial dan tidak komprehensif. Misal dalam ketentuan KUHP, pendekatan hukum hanya menyasar pada ranah penjualan dan konsumsi dengan sanksi pidana dan penjara yang lemah. Apatah lagi, tidak ada klausul yang tegas melarang konsumsi minol di KUHP. Sehingga KUHP dinilai tidak cukup memadai untuk melakukan rekayasa sosial di masyarakat dalam rangka menciptakan generasi yang bebas minuman beralkohol. (suaraislam.id, 13/11/2020).

Di sisi lain, kritik tajam datang dari Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus. Ia menyatakan khawatir jika RUU itu sampai lolos. Menurutnya, tidak benar tiba-tiba keluar larangan alkohol. Pihaknya tidak ingin (RUU Larangan Minol) disahkan. Kalau disahkan sebab sama saja membunuh pariwisata Indonesia. Karena dalam draft RUU ini tertulis orang yang mengkonsumsi alkohol tak sesuai aturan terancam dibui paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp50 juta. (bbcindonesia.com, 13/11/2020).

Tarik-ulur kepentingan lazim dalam demokrasi. Mirisnya, para tuan wakil rakyat lebih memprioritaskan kepentingan para cukong daripada kepentingan rakyat. Tidak heran jika setiap produk hukum di parlemen menimbulkan konflik dan polemik yang berkepanjangan. Sedihnya, konflik dan polemik ini berujung pada abainya penguasa pada urusan keselamatan kepentingan rakyat.

Konflik kepentingan dalam demokrasi juga berujung pada aturan yang tidak membuat jera para pelaku. Sebab aturan yang dihasilkannya bersifat parsial dan tidak komprehensif. Lemah dan dapat diintervensi para pemilik modal. Sarat dengan kepentingan para cukong kapitalis. Alhasil, alih-alih menertibkan masyarakat dan menihilkan tindak kejahatan, aturan yang ada justru membuat peluang tindak kejahatan baru.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button