TELADAN

Saat Khalifah Umar Hadapi Musim Paceklik

Kala itu, tanah berbongkah kering kerontang. Rumput-rumput layu berwarna kekuningan. Gersang dan penuh abu, begitulah kira-kira. Jika angin bertiup, abu beterbangan ke mana-mana sampai orang menamai tahun itu “Tahun Abu” (Aam Ramadah).

Selama Sembilan bulan hujan sama sekali tak menyirami tanah di semenanjung Arab. Musim paceklik tiba. Seluruh usaha pertanian dan peternakan hancur total.

Hewan ternak kurus kering. Unta dan domba tak mampu menghasilkan susu. Pasar sepi sebab tak ada lagi yang akan diperjualbelikan. Uang pun tak berarti apa-apa. Tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidup.

Pada kondisi seperti ini penduduk Madinah masih lebih baik. Madinah adalah sebuah kota makmur. Penduduknya biasa menyimpan cadangan makanan. Ketika musim kemarau tiba, cadangan itu dikeluarkan.

Lain lagi dengan kaum Arab Badui dan pedalaman. Tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak awal mereka telah berbondong-bondong ke Madinah. Mereka datang meminta bantuan Umar bin Khattab, yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan tertinggi umat Islam, sekadar mencari remah-remah yang dapat dimakan.

Lambat laun, gelombang pengungsi ke Madinah makin tak tertahankan. Bencana kelaparan mengancam penduduk kota, sementara hujan tak kunjung turun. Peristiwa itu terjadi tahun 17 Hijriyah.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab tak tinggal diam melihat kondisi rakyatnya. Suatu kali, di pasar, ada seorang penjual membawa samin dan susu dalam dua tabung kulit terpisah. Kedua barang itu dibeli oleh seorang anak muda seharga 40 dirham. Anak muda itu langsung pergi menemui Umar, membawakan makanan tersebut. Umar hanya tertunduk sebentar. Jawabnya, “Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan.”

Umar bersumpah tak akan lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti sedia kala. Pasalnya, suatu kali Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Tatkala itu, bencana kelaparan tengah mencapai puncak. Ia panggil seorang Badui. Mereka santap roti itu bersama-sama.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button