NUIM HIDAYAT

Sayyid Qutb dan Buya Hamka: Dari Penjara Lahir Karya Mulia

Buya Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka adalah ulama dan penulis Islam Indonesia paling produktif. Karya tafsirnya, Al Azhar, dibaca kaum muslimin dari Mesir sampai London. Hamka lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908.

Hamka mulai menulis tafsirnya pada tahun 1958. Awalnya dilakuan lewat kuliah subuh pada jamaah di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia memulai penafsiran dari surah al Kahfi juz XV. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang diceramahkannya itu dimuat di majalah Gema Islam.

Dua tahun kemudian, tepatnya 27 Januari 1964, Hamka ditangkap penguasa Orde Lama (Soekarno) dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air. Penahanan ini berlangsung sekitar dua tahun. Dan ini menjadi berkah bagi ulama yang juga sastrawan itu. Dalam rentang waktu di tahanan itulah ia bisa menyelesaikan penulisan tafsirnya. Beberapa hari sebelum pindah ke tahanan rumah, ia telah merampungkan tafsir Al-Qur’an 30 juz. Pada tahun 1967, tafsir itu untuk pertama kalinya terbit dengan nama Tafsir Al Azhar.

Hamka mengisahkan hikmahnya ia di penjara: “Tetapi di samping hati mereka (penfitnah Hamka-pen) yang telah puas, Tuhan Allah telah melengkapi apa yang disabdakan-Nya di dalam surah at Taghabun ayat 11. Yaitu bahwa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia berima teguh kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayat ke dalam hatinya. Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al-Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayat dari Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran Al-Qur’an 30 Juzu telah selesai. Dan semasa tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan.”

Hamka juga ingat kisah Ibnu Taimiyah yang dipenjarakan dengan muridnya Ibnul Qayyim karena fitnah. Ia mengatakan kepada Ibnul Qayim: ”Apakah lagi yang didengkikan oleh musuh-musuhku kepadaku? Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalwat dan pembuangan adalah untuk menambah pengalaman. Orang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawa nafsunya dan orang yang terbelenggu ialah yang dibelenggu oleh syaitan.”

Ulama besar ini ditahan karena dituduh memberontak kepada penguasa dan ikut serta membela –dalam ceramah-ceramahnya—perjuangan PRRI oleh tokoh-tokoh Masyumi. Ia dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963. Tuduhan yang ditimpakan pemerintah ini hanyalah kebohongan belaka.

Prof. Dr. Hamka mengungkapkan tentang tafsirnya ini: ”Seketika menyusun “Tafsir” ini, baik selama dalam masa tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang (bapak, guru dan istrinya -pen) yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk pribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan “Tafsir ini”.

Mereka itu ialah pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya kelak menggantikan tempat beliau sebagai orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (nenek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau nenek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau nenek yang di atas lagi yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka pada zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu.”

Hamka menyatakan bahwa ia tidak punya keahlian khusus sebenarnya untuk menulis tafsir. Ia, meskipun banyak menguasai ilmu agama dan telah menulis banyak buku tentang bahasa dan Islam, tapi ia bukan orang spesialis. Ia memberanikan diri menulis tafsir ini, karena menganggap ada kebutuhan yang diperlukan bagi para pemuda yang semangat menjalankan Islam dan ahli-ahli dakwah yang butuh bimbingan.

Ulama teladan ini menyatakan: ”Penulis ‘Tafsir’ ini telah membaca syarat-syarat yan dikemukakan oleh ulama-ulama ikutan kita, untuk siapa-siapa yang hendak menterjemahnya, hendaklah tahu bahasa Arab dengan segala peralatannya, tahu pula penafsiran orang terdahulu, pula tahu asbabun nuzul, yaitu sebab-sebab turun ayat, tahu pula hal Nasikh Mansukh, tahu pula Ilmu Hadits, terutama yang berkenaan dengan ayat yang tengah ditafsirkan, tahu pula ilmu fiqh, untuk mendudukkan hukum.

Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja menafsirkan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu. []

Nuim Hidayat, Ketua DDII Depok (2012-2021), Anggota MIUMI dan MUI Depok.

Laman sebelumnya 1 2 3 4

Artikel Terkait

Back to top button