MAHASISWA

Sisi Kelam Korea Selatan

Kabar duka lagi-lagi datang dari panggumg hiburan negeri gingseng, Korea Selatan. Dilansir dari situs liputan6.com, dikabarkan bahwa penyanyi sekaligus aktris ternama, Goo Hara ditemukan meninggal di rumahnya di kawasan Cheongdam, Seoul, Ahad (24/11/2019) sekitar pukul enam sore waktu setempat.

Kabar ini bukan kabar yang asing bagi panggung hiburan Korea Selatan. Setelah sebelumnya juga dikabarkan artis Sulli yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Maka ini menambah daftar panjang bagi panggung hiburan Korea Selatan dengan hingar bingarnya. Nyatanya, kemewahan yang disajikan ke dunia tak lantas benar-benar menjadi kebahagiaan bagi para pelakunya.

Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Tercatat rasio bunuh diri per 100.000 penduduk di Korea Selatan sebesar 26,9. Rasio bunuh diri tertinggi terjadi pada laki-laki sebesar 38,4, sedangkan rasio bunuh diri pada perempuan sebesar 15,4. (databoks.katadata.co.id)

Maka jika dilihat lebih dalam setidaknya ada beberapa faktor kenapa angka bunuh diri di Korea Selatan terus meningkat tiap tahunnya. Faktor pertama, kehidupan hedonis yang disuguhkan Korea Selatan menjadi magnet bagi penduduk di sana, khususnya bagi para pemudanya. Sehingga pada usia belia mereka sudah memulai debut mereka. Dengan beranung di bawah agensi-agensi ternama, mereka berlomba-lomba untuk meraih popularitas.

Kedua, kebahagiaan semu yang menjadi oerintasi. Bukan hal yang baru jika remaja di Korea Selatan saat menginjak usia 17 tahun menadapat hadiah untuk operasi plastik. Mempercantik atau mempertampan diri mereka dengan operasi plastik tersebut. Dan kemudian dilanjutkan dengan mengikuti ajang pencarian bakat dari agensi-agensi yang ada di sana.

Ketiga, maraknya kasus bullying. Hal ini juga menjadi sorotan petinggi Korea Selatan sebab menjadi faktor terbesar untuk bunuh diri. Fenomena bullying ini banyak dilakukan oleh para haters di jagat maya. Ketika mereka tidak menyukai penampilan salah satu idol maka mereka akan melontarkan komentar pedas untuk menjatuhkan idol tersebut.

Kerasnya dunia hiburan di panggung Korea Selatan memang membuat para pelakunya harus ekstra mengeluarkan upaya mereka untuk senantiasa eksis dan diterima oleh masyarakat. Tanpa mengundang haters tentunya. Mereka akan senantiasa tampil sempurna di hadapan publik. Seolah mereka senantiasa bahagia dengan apa yang mereka jalani. Padahal sejatinya namanya manusia pasti memiliki masalah dan beban yang sewaktu-waktu menghampirinya. Dan hal tersebut disamarkan sehingga membuat para pelakunya banyak yang depresi. Tekanan tersebut yang akhirnya membuat mereka nekat mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Nyatanya hingar binger panggung Korea Selatan bukan jaminan para idol tersebut benar-benar meraih kebahagiaan. yang ada justru mereka tidak diberi kebebasan untuk menjalani hidup. Mereka harus menjalani peran di mana peran tersebut bertolak belakang dengan yang sejatinya mereka inginkan. Parahnya mayoritas masyarakat Korea Selatan menomorsekiankan agama, padahal agama merupakan naluri yang harus dipenuhi keberadaaanya. Nyatanya, hal ini coba untuk dihilangkan.

Fenomena ini tentunya akan terus terjadi selama asas kehidupan yang diterapkan adalah memisahkan kehidupan dengan agama (baca: sekularisme) di bawah sistem kapitalisme. Sebab dari sistem ini akan melahirkan makna kebahagiaan yang hanya diukur dari mendapatkan sebanyak-banyaknya materi semata namun miskin nurani. Tanpa berpegang pada akidah yang benar akan terus melahirkan manusia-manusia tanpa agama. Jauh dari fitrah sebagai manusia. Inilah potret kelam Korea Selatan. Lantas, apa yang mau dibanggakan dari kehidupan hedonis kapitalis yang miskin akidah ini?

Karenanya, menjadi salah besar jika Korea Selatan dijadikan kiblat terutama oleh pemuda muslim. Hal ini harusnya semakin menyadarkan pemuda muslim untuk kembali lagi pada akidahnya. Sebab pemuda muslim akan mulia tatkala dia kokoh menggenggam akidahnya dan senantiasa terikat dengan aturan dari Penciptanya tanpa ada keraguan sedikitpun. Justru dengan ketaatan pada Allah semata akan membuat mereka mulia dan lebih berharga. Wallahu’alam.

Nila Indarwati
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button