NUIM HIDAYAT

Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia

Menurut Kevin W Fogg dalam bukunya “Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia”, revolusi Islam Indonesia ada dua pengertian. Pertama, dalam memandang perang kemerdekaan, kaum santri yang berjuang melawan Belanda memahami ini sebagai perjuangan untuk tujuan-tujuan Islam dan mengorganisasi diri dengan cara-cara Islam. Jadi perubahan negara yang terjadi melalui perjuangan militer memiliki cita rasa Islami bagi sebagian partisipan yang lumayan besar.

Kedua, dalam memandang revolusi politik dengan berdirinya sebuah negara baru, ada transformasi-transformasi fundamental dalam hal Islam mempengaruhi politik dan dalam hal politik mempengaruhi kehidupan Islam.

Revolusi yang digerakkan oleh kaum santri itu, memang mempunyai pemahaman yang berbeda-beda di tingkat akar rumput. Pada tingkat bawah, orang-orang Islam memakai jimat dan merapal mantra sebagai bagian dari praktik Islami, sesuatu yang dikecam oleh kaum elite didikan Barat. Kaum elite yang sama menggaungkan sosialisme religious di pemerintahan sebagai sesuatu yang tumbuh dari dalam keyakinan mereka, tapi risalah-risalah mereka tentang sosialisme religious sudah pasti tidak terjangkau sama sekali oleh orang-orang yang berpendidikan rendah di medan perang. Standar yang menyatukan keduanya adalah melakukan praktik-praktik untuk mendapatkan narasi Islam yang khas diantara keduanya, semacam pandangan bahwa mereka melakukan perjuangan itu sebagai bagian dari agama.

Kevin melihat bahwa revolusi Indonesia memiliki dua tataran yang agak berbeda. Mobilisasi massa dalam perang kemerdekaan dan kaum elite yang bermain di tataran revolusi politik. Pada tingkat akar rumput, kaum Muslim yang taat percaya bahwa perang kemerdekaan adalah perang suci, setiap korban dalam perang itu akan menjadi syuhada , dan bentuk-bentuk supranatural Islami akan melindungi mereka dan membantu memastikan kemenangan. Bagi kaum elite politik, keyakinan-keyakinan seperti itu merisaukan, yang akhirnya mengeluarkan peringatan-peringatan untuk tidak memproklamasikan perang suci dan mengejek kekuatan supranatural itu sebagai takhayul yang tidak islami. Meski demikian visi-visi Islam popular ini terus merebak di kalangan rakyat dan masyarakat biasa serta para sarjana Islam berbasis komunitas.

Ideologi revolusioner itu –yang mengakar secara lokal, seringkali radikal dan terbuka pada kemampuan supranatural- berdiri berlawanan dengan ide-ide Islam yang tumbuh di tingkat elite. Para politisi Islam yang berjibaku menerapkan stempel Islam pada kemerdekaan setuju dengan akar rumput bahwa kemerdekaan dari Belanda adalah keharusan religious. Namun kaum Muslim taat pada tingkat elite ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi asas negara maju di dunia modern. Mereka menciptakan mekanisme yang dengannya ortodoksi dapat ditentukan dan didukung oleh negara. Mereka berusaha menuliskan hukum Islam ke dalam konstitusi sebagai ciri kunci keislaman.

Saifulkan Angai berusia 16 tahun ketika Belanda datang lagi ke Kalimantan Selatan tahun 1946 sebagai bagian dari upaya merebut kembali koloni mereka. Menghadapi revolusi dia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan masuk barisan laskar lokal organisasi itu untuk berjuang melawan penjajah beserta pasukannya. Yang terpenting dari keterlibatannya dalam laskar adalah dorongan dari pemimpin agama setempat di kota pedesaan Marabahan, seoang bernama H Mahyuni. Tokoh berpendidikan ini mendorong kaum Muslim pria untuk ikut memerangi Belanda, meyakinkan mereka bahwa ini perang sabil, siapapun yang mati di pihak Indonesia dalam perang akan menjadi syahid, dan para syuhada akan menerima ganjaran dari Tuhan di akhirat. Menurut Saifulkan Angai, ”Bagi umat Islam mereka dipandang sebagai syuhada yang membebaskan keimanan, membebaskan kami, sehingga kami bisa mempraktikkan (Islam).”

NU dan Muhammadiyah menganggap bahwa perjuangan melawan Belanda ini adalah jihad. Menurut NU, perjuangan di jalan Allah tidak terpisahkan dengan republik baru, dan kemerdekaan terikat kepada Islam. Sentimen ini bergema di koran yang berafiliasi dengan partai Islam Masjumi, Harian Al Djihad, tanggal 28 Januari 1946, ketika Wondoamiseno, yang saat itu menjadi pemimpin laskar Islam Hizbullah, berbicara tentang “kemerdekaan negara kita dan rakyat kita yang berdasarkan Islam.”

Banyak fatwa muncul di daerah tentang kewajiban melawan penjajah Belanda. Pada 15 Oktober 1945, muncul di Aceh fatwa yang dikeluarkan pemerintah sipil saat itu. Fatwa itu berbunyi, ”Mereka akan memperbudakkan rakyat Indonesia menjadi hambanya kembali dan menjalankan usaha untuk menghapus agama Islam kita yang suci serta menindas dan menghambat kemuliaan dan kemakmuran bangsa Indonesia…Maka percayalah wahai bangsaku, bahwa perjuangan ini adalah sebagai sumbangan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Tgk Cik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dari sebab itu, bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah maju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air, agama dan bangsa.”

Pada 22 Oktober 1945 Nahdhatul Ulama Jawa Timur juga mengeluarkan fatwa. Fatwa ini mendapat pesetujuan pemimpin tetinggi NU, KH Hasyim Asy’ari. Fatwa ini berisi:

  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan
  2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa
  3. Musuh-musuh Republik Indonesia terutama Belanda yang datang membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Amerika, Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
  4. Umat Islam terutama warga Nahdhatul Ulama, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia
  5. Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fadhu ain) yang berada dalam jarak radius 95 km (yakni jarak saat umat Islam boleh sembahyang jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudara yang berada dalam jarak radius 95 km tersebut.

Bukan hanya fatwa, bahkan KH Hasyim Asyari melarang kaum Muslim pergi haji ke Mekkah pada Juli 1946. Karena perjalanan ke sana saat itu sulit dan tidak aman, dan Belanda pun menyatakan melarang sementara kepada kaum Muslim untuk pergi haji. Di Sumatra Utara, organisasi Islam al Washliyah lebih keras lagi dalam fatwanya. Organisasi itu menyatakan bahwa mereka yang tidak berperang untuk Indonesia tergolong murtad, siapa pengkhianat tanah air, halal darahnya.

Belanda dilawan bukan hanya karena ingin menjajah, tapi juga karena ingin menyebarkan misi Kristen. Di Luwu, wilayah Sulawesi ujung utara Teluk Bone terjadi peristiwa ini. Seorang dari istana Datuk Luwu berkata kepada seorang peneliti pada tahun 1981, ”Hal-hal yang mendorong kami menentang mati-matian terhadap penjajah adalah adanya Misi Zending Kristen yang berusaha menyebarluaskan agama Kristen di daerah Luwu, dan jika seandainya umat Islam tidak mengadakan perlawanan, pasti gereja bertumbuhan di sana sini. Terlebih-lebih lagi setelah Belanda merobek lembaran Al-Qur’an dan menempeleng Tomanjawani, ini adalah suatu pelanggaran yang sangat memalukan buat kami umat Islam.” []

Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Depok.

Artikel Terkait

Back to top button