Stiker Miskin
Pemerintah desa memiliki cara efektif untuk mengeliminir waga kaya yang mengaku miskin, yaitu dengan menempeli stiker bertuliskan ‘Keluarga Miskin’ atau pra sejahtera, pada rumah keluarga di Desa Sekapuk, Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dan berhasil, akhirnya belasan kepala keluarga mengundurkan diri sebagai penerima bantuan pemerintah. (Timesindonesia, 6/12/2019).
Total ada 20 penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) maupun Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) mundur tanpa paksaan di hari pertama pelaksaan. “Mungkin mereka malu ketika ditempeli stiker itu, meskipun rumahnya bagus kalau tak mau mundur ya tetap ditempeli stiker ini,” kata Kepala Desa Sekapuk Abdul Halim, Jumat (6/12/2019).
Pihak desa membuat tiga stiker dengan warna berbeda. Stiker hijau merupakan kategori keluarga miskin yang hamil dan menyekolahkan anak, kemudian stiker kuning, untuk keluarga miskin ada yang sakit baik fisik maupun mental. Sedangkan stiker merah berarti keluarga miskin ada lansia di atas 70 tahun.
Dinas Sosial Kabupaten Gresik (Dinsos Gresik) Jawa Timur akan memberlakukan hal serupa, stiker tertulis ‘Keluarga Miskin’ kepada keluarga penerima manfaat (KPM) pada tahun 2020. Tujuannya untuk memperoleh data akurat agar bantuan tepat sasaran, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Gresik Sehat (KGS).
‘Stiker Miskin’ mempermudah Pemerintah Daerah untuk menyalurkan bantuan. Dengan dalih dana yang terbatas, maka Pemerintah Daerah mendahulukan prioritas pengurusan umat, bagi rakyat miskin. Tetapi apakah benar hanya rakyat miskin yang perlu dibantu? Bagaimana dengan kondisi sedikit lebih baik di atas ‘miskin’, atau bagaimana dengan yang dianggap ‘kaya’?
Batasan miskin dan kaya masih belum jelas. Sementara dalam pemerintahan ala sekularisme, rakyat dituntut mandiri. Bahkan kadang mereka pun ‘autopilot’, mengatur urusan mereka sendiri, mencari jalan ke luar, hingga tidak perlu lagi mengadukan persoalannya kepada pemerintah. Bisa jadi rakyat pun tidak tahu bahwa sejatinya pemerintah bertanggung jawab menjaga hak-hak mereka.
Di dalam Sistem Ekonomi Islam, yang terjadi justru sebaliknya, negara berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga Muslim dan non-Muslim secara menyeluruh. Yaitu berupa pangan, sandang, dan papan (perumahan), termasuk keamanan, kesehatan, dan pendidikan yang merupaka kebutuhan jasa.
Secara garis besar, strategi dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan, pendidikan).
Pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang dijamin dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, kebutuhan jasa pokok dengan mekanisme langsung, yakni pemenuhan langsung oleh negara.
Maka kondisi yang terjadi saat ini, membingungkan. Kehidupan serba sempit di seluruh lini adalah hasil produksi sekularisme. Akibatnya, warga ‘bukan miskin’ rela mengaku miskin, demi memperoleh bantuan. Baik itu keuangan, jaminan kesehatan, bila perlu pendidikan, dan seluruh kebutuhan dasar, tentu akan membuat kehidupan menjadi mudah.
Dan sejatinya hal tersebut merupakan hak rakyat. Dengan pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang melimpah, seharusnya hal tersebut menjadi mudah. Akan tetapi karena sekularisme dijadikan sebagai sistem mengatur rakyat, maka ketakwaan individu pun hilang. Dari jajaran pemerintah hingga rakyat jelata, sulit menjaga keimanan mereka.
Hasil sumber daya alam menjadi tidak tepat sasaran, sehingga tidak sampai ke rakyat. Akhirnya dana yang ada sangat terbatas, sehingga hanya rakyat miskin yang memperoleh bantuan. Kondisi finansial yang sedikit lebih baik di atas miskin, tidak mendapat bantuan. Padahal mereka pun sama susahnya.
Dalam sekularisme, agama dipisahkan dari kehidupan, tidak ada peran Allah dalam mengatur umat. Maka segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan urusan umat, diatur berdasarkan ukuran manusia. Pola pengurusan umat ala sekularisme bukanlah pola asuh penjagaan penguasa terhadap rakyatnya. Akan tetapi pola hubungan penjual dan pembeli.
Padahal dalam Islam rakyat berhak diurusi pemerintah. Tidak hanya yang miskin, yang kaya pun diperhatikan. Seluruhnya harus mendapat jaminan pemeliharaan hak-haknya, selama ia menjadi warga negara Daulah. Sebab dalam Islam, pemimpin negara wajib mengurusi rakyat atas dasar iman kepada Allah.
Hal inilah yang membedakan pola pengurusan umat ala sekularisme dengan Islam. Islam pun menggali potensi manusia dalam sebuah negeri. Menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya, mendorong warga untuk bekerja keras membangun negeri. Negara menjadikan mereka tangguh, berdaya guna, berkualitas, memiliki visi dan misi yang jelas untuk kemuliaan Islam.
Maka tak perlu ‘Stiker Miskin’. Hanya dengan landasan iman dan sistem bernegara yang menggunakan akidah sahih yaitu Islam, akan mengembalikan jati diri kaum muslim sebagai umat terbaik. Umat terbaik tak mungkin miskin, karena berada dalam penjagaan negara. Hal ini menjadikan aktivitas rakyat berkualitas tinggi, sebab menjadikan Islam sebagai landasan pemikiran.
Maka hasilnya, akan terjadi sinergi yang luar biasa antara penguasa dengan rakyatnya. Penguasa memperhatikan urusan rakyat, rakyat pun terpacu membangun negeri. Pada akhirnya akan terbentuk peradaban yang gemilang hasil dari aktivitas manusia yang berlandaskan takwa kepada Allah.
Lulu Nugroho
Muslimah Revowriter Cirebon