SYARIAH

Stop Budaya Suap

Allah SWT berfirman: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan) jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah 188).

Tafsir

Dalam Tafsir Jalalain diterangkan bahwa firman Allah “walaa ta’kulu amwaalakum bainakum bil baathil” maknanya adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian kalian yang lain dengan cara yang haram menurut syariah, seperti mencuri dan merampas (ghashab).

Sedangkan kalimat “walaa tudluu biha ilal hukkam” maknanya jangan melemparkan atau menjatuhkan harta itu dengan pemerintahannya atau dengan harta suap kepada penguasa. Yang dengan keputusan penguasa itu kalian bisa makan sebagian dari harta manusia dengan disertai dosa sedangkan kalian tahu bahwa kalian telah melakukan kebatilan.

As Shabuni dalam Shafwatut Tafaasiir menerangkan bahwa firman Allah SWT “wa tudluu biha ilal hukkaam” artinya adalah dan kalian membawa perkara itu penguasa dengan menyuap.

Al Baghawy dalam tafsirnya menerangkan ayat di atas turun pada seorang pria dari Al Qais yang bernama Bin Ayas yang digugat oleh Rabiah bin Abdan Al Hadlromi di depan Rasulullah Saw bahwasanya dia menguasai tanahnya. Maka Rasulullah saw bertanya kepada al Hadrlomi: “Apakah anda punya bukti?” Orang Hadlromy itu menjawab: Tidak! Lalu Rasulullah Saw bertanya: “Apakah anda mau bersumpah?” Maka mulailah dia bersumpah. Lalu Rasulullah Saw bersabda: “Jika dia bersumpah atas hartanya agar dia bisa memakannya secara zalim, maka dia niscaya akan bertemu dengan Allah dalam keadaan ditolak!” (HR. Muslim). Maka Allah menurunkan ayat walaa ta’kuluu amwaalakum bainakum bil bathil, artinya janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian kalian yang lain dengan cara batil, yaitu tidak dengan cara yang dibolehkan oleh Allah SWT.

Asal kata al batil adalah as syai’ ad dzaahib (sesuatu yang pergi atau yang hilang). Memakan harta dengan cara batil macam-macam bentuknya, bisa dengan cara merampas dan merampok, atau dengan cara permainan seperti judi dan lain-lain, bisa juga dengan cara suap dan pengkhianatan terhadap harta amanat.

Al Baghawy menerangkan bahwa firman Allah “wa tudluu biha ilal hukkaam” artinya kalian melemparkan perkara harta tersebut yang terjadi antara kalian dengan para pemiliknya kepada penguasa. Kata tudluu dalam ayat tersebut akar katanya adalah idla yang asalnya bermakna mengirim dan mengulurkan timba (dalwah) ke dalam sumur. Al Baghawy mengutip Ibnu Abbas yang berkata bahwa ayat tersebut tentang seorang lelaki yang ada harta padanya tapi dia tidak punya bukti kepemilikan atasnya. Lalu dia mempertahankannya dan memperkarakannya di depan penguasa sedanbgkan dia tahu bahwa itu bukan haknya dan dia berdosa mempertahankannya.

Juga mengutip Qatadah yang berkata janganlah membawa harta saudaramu kepada penguasa sedangkan anda tahu bahwa anda zalim. Sebab keputusannya tidak menghalalkan harta yang haram. Juga mengutip Qadli Syuraih yang berkata: Sesungguhnya aku benar-benar akan memutuskan perkara untukmu sedangkan aku menduga zalim, dan aku hanya memutuskan berdasarkan bukti yang datang kepadaku dan sesungguhnya keputusanku tidaklah membuat perkara yang haram menjadi halal bagimu. Diriwayatkan suatu hadits dari Ummu Salamah r.a. istri Nabi saw bahwasanya Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia sedangkan kalian bersengketa dan boleh jadi sebagian kalian lebih pandai dalam berhujjah daripada yang lain sehingga aku memutuskan perkara untuknya (memenangkannya) berdasarkan apa yang kudengar darinya. Maka siapa saja yang kuputuskan baginya (memenangkannya) terhadap sesuatu yang sebenarnya adalah hak saudaranya. Maka janganlah dia mengambilnya. Sebab itu hanyalah aku ambilkan baginya sepotong api neraka.” (HR. Al Bukhari).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button