Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi
Masyarakat akhirnya cinta kepada Al-Qur’an, cinta kepada buku, cinta kepada ilmu. Para ulama yang mengajarkan Al-Qur’an itu bukan hanya mengajar, tapi juga menulis. Tulisan mereka dalam aksaran Arab Pegon (Arab Jawi). Sebuah kreasi yang tinggi dari para ulama Nusantara. Yang terkenal antara lain: Nuruddin ar Raniri, Hamzah Fansuri, Abdul Somad al Palimbani, Raja Ali Haji dan lain-lain.
Begitulah kondisi masyarakat Islam Nusantara dari abad ke 7 sampai sekitar abad 15 atau 16, sebelum kedatangan penjajah Portugis,Belanda, dan Inggris. Tentara Portugis dengan pendetanya yang ingin menjajah Indonesia, dilawan dengan gagah berani oleh pasukan-pasukan Islam di tanah air. Portugis dan Belanda gagal total dalam misinya. Mereka hanya berhasil mengeruk kekayaan tanah air.Tapi mereka gagal dalam mengkatolikkan atau mengkristenkan masyarakat Indonesia.
Masyarakat Nusantara dengan kalimat Allahu Akbar, mereka melawan Portugis dan Belanda. Mereka hanya bersenjata seadanya, bambu runcing, keris, dan senjata api murahan. Dengan semangat membela ajaran Islam yang mulia, mereka tidak takut mati di medan laga. Di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan lain-lain, masyarakat yang sudah ratusan tahun memeluk Islam merasa mendidih jiwanya dengan penjajah yang beragama Protestan dan Katolik.
Masyarakat yang sudah merasa tenteram dengan ajaran Islam, marah dengan Portugis dan Belanda yang menjarah kekayaan alam dan menjajah keyakinan mereka. Para pahlawan Islam Nusantara bersatupadu dengan rakyat melawan kedua penjajah itu tanpa kenal lelah. Bagi mereka lebih baik mati berjuang, daripada damai tapi dijajah oleh orang-orang asing yang sombong. Orang-orang asing yang tidak mengenal Allah dan Rasulullah.
Maka muncul pahlawan Teuku Umar, Cut Nyak Din, Laksamana Malahayati, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Agus Salim, Mohammad Natsir dan lain-lain. Mereka berjuang bukan untuk meraih kekayaan atau jabatan. Mereka berjuang untuk tegaknya kalimat Allah. Mereka berjuang untuk menghapus kalimat iblis/setan.
Alhamdulillah lewat perjuangan yang ratusan tahun itu akhirnya bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Portugis, Belanda, Jepang, Inggris (tentara sekutu) pergi dari Indonesia.
Tapi apakah selesai dengan proklamasi kemerdekaan? Ternyata tidak. Penjajah (Jepang) ternyata masih ‘cawe-cawe’ ketika Indonesia merdeka. Laksamana Meyda ikut campur dalam pembacaan teks proklamasi. Teks proklamasi yang harusnya dibaca adalah ‘naskah Piagam Jakarta’ diganti dengan coret-coretan Soekarno yang dirumuskan di rumah perwira Jepang itu.
***
KIni negara menjadi sekuler meski penduduknya mayoritas Muslim. Tidak ada satu surat yang mengatasnamakan negara yang dimulai dengan BIsmillahirrahmanirrahim.
Negara seolah-olah ingin melindungi semua agama, tapi tak disadari menzalimi umat Islam. Umat Islam yang mayoritas di negeri ini, banyak kehilangan haknya. Gedung-gedung negara penuh dengan patung atau hiasan Hindu Bali. Tapi tidak ada satupun kaligrafi Islam di sana, apalagi kaligrafi Al-Qur’an. Padahal sekali lagi negeri ini mayoritas Islam, sekitar 200 juta penduduknya Muslim.
Tapi itulah kaum Muslim, mesti telah dizalimi di negeri ini, tidak berontak. Kecuali sebagian kecil (DI/TII, PRRI dan lain-lain). Mereka berontak karena merasa bahwa pemimpin negeri ini telah berkhianat, pemimpin negeri ini telah menghilangkan hak-hak kaum Muslim di negeri ini. Pemberontakan mereka hanya difahami oleh cendekiawan Muslim yang paham terhadap sejarah.