Surya Paloh dan Romantisme Politik
Sementara, UU Omnibus Law, yang dianggap sudah cacat hukum oleh MK sendiri, masih terus diberlakukan dan berlangsung digunakan pemerintah. Tak dipedulikan!
Sudah didemo berjilid-jilid oleh ormas dan mahasiswa, hingga siswa SMK pun ikut turun ke jalanan. Sampai pula tak tahu ada banyak korban ajal. Yang jelas, sudah banyak aktivis, tokoh intelektual, ustad dan ulama dipenjarakan.
Kepolisian dan TNI sangat represif dan membarikade habis cara penanggulangannya. Padahal, hanya tinggal dan bisa diberikan ruang dan ajang “dialogis, dialektika dan diskursus dunia keilmuan dan akademis yang bebas nilai” yang akan justru mencerminkan kebebasan demokratisasi.
Tetapi dikungkung dan dibelenggu oleh rantai otoriter kekuasaan. Juga jadi tanda bukti fakta faktual bahwa Polri dan TNI tidak lebih menjadi “anjing herderisasi” yang hanya dan harus manut dan nurut kepada rezim!
Maka, ya pantaslah negeri dengan sistem Presidensial yang seharusnya menjadi “anak emas” bagi demokratisasi, berubah menjadi negara otoritarianisme. Presidennya kemudian disebut dan dijuluki pemerintahan yang memerintah secara otoriter.
Lantas, adanya “romantisme politik” Surya Paloh akankah kemudian KIB benar-benar akan bergabung dengan Koalisi Perubahan?
Dilihat rekam jejak Golkar yang demikian bagi Koalisi Perubahan sudah selayaknyalah tidak semudah seperti membalikkan tangan. Tentu tak maulah Koalisi Perubahan dijadikan pencitraan publik oleh KIB Golkar khususnya sebagai tempat “mencuci tangan”. Kan kotorannya pasti akan tertinggal dan membekas di Koaliasi Perubahan. Apalagi untuk menjadi jalan “pengampunan dosa” Golkar masa lalu. Koalisi Perubahan bakal kecipratan buruk dan buriknya.
Sepertinya KIB yang membentuk koalisi pertama setelah meloncat dari PDIP —juga setelah Megawati mengeluarkan pernyataan untuk taat kepada konstitusi UUD 1945 tentang masa jabatan Presiden—tak disangka dan tak dinyana menjadi “politik rumah singgah” Jokowi, sebagai bentuk imbal jasa yang diberikan oleh Golkar untuk berkesinambungannya pengaruh dan legacy Jokowi setelah jabatan Presidennya berakhir. Dan itu tidak tanpa alasan buat Golkar, jika tak ada “vested interested”nya pula. Alias, no free lunch kan?
Dan itu pulalah kenapa nama Ganjar Pranowo yang terus-menerus dipropagandakan untuk bacapres dari KIB atau Jokowi yang digembor-gemborkan untuk perpanjangan jabatan tiga periode.
Juga melalu kelompok sukarelawan politik Projo, Musra dan Nusantara yang juga terus gencar menebar cara mempengaruhi publik, salah satunya melalui dukungan kepala-kepala desa di Apdesi untuk memperpanjang jabatan Presiden tiga periode atau bacapres dengan memberi tanda “berkerut dan berambut putih”.
Termasuk, hasil survei elektoral dengan lembaga survey elektoral bayaran jika tidak bacapres Ganjar selalu di posisi tertinggi, ya Jokowi didengungkan seolah kepuasan rakyat akan kinerjanya terus naik dan “ditinggikan”. Apa sasarannya?