AL-QUR'AN & HADITS

Tafsir dan Ta’wil Isti’adzah

Keempat, أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ atau أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ sama-sama diperbolehkan lafazhnya, juga lafazh-lafazh lain yang tertera dalam Sunnah.

Kelima, Al-Mahdawi menyebutkan kesepakatan para qari qiraat, baik qiraat sab’ah (qiraat 7) maupun ‘asyarah (qiraat 10) mengeraskan membaca ta’awudz ketika mulai membaca surat al-Fatihah, terkecuali Imam Hamzah. Fiqih permasalahan ini bukan tempatnya dalam kitab ini.

Keenam, Az-Zahrawi menuturkan, “Ayat itu (yang memerintahkan ta’awudz) diturunkan dalam shalat, dan disunnahkan untuk membacanya di luar shalat, bukan diwajibkan.” Ulama lainnya menyatakan bahwa ta’awudz diwajibkan hanya untuk Nabi, sedangkan kita hanya mengikuti beliau.

Ketujuh, Ada juga riwayat yang tidak disepakati ulama, bahkan cenderung tidak diakui yakni riwayat Abu Hurairah yang membaca ta’awudz setelah membaca surat al-Qur’an, namun riwayat ini mesti ditinjau ulang diriwayatkan oleh Daud. Mungkin Daud yang dimaksud oleh Imam al-Qurthubi dalam kitabnya tersebut ialah Daud azh-Zhahiri. Sampai-sampai Imam Ibnul Arabi, yakni Abu Bakar al-Arabi,

[1] menyatakan “Kepayahan telah sampai puncaknya pada suatu kaum, hingga mereka menyatakan “Jika seorang pembaca al-Qur’an selesai membaca al-Qur’an, maka dia harus berta’awudz dari syaithan yang terkutuk.” Pendapat ini bertentangan dengan Sunnah yang populer dan kebiasaan turun-temurun dari para sahabat, tabi’in hingga ke generasi imam-imam (ulama) tersebut, yang membaca ta’awudz diawal, saat hendak mulai membaca al-Qur’an.

Kedelapan, Hadits keutamaan membaca istiadzah atau ta’awudz.

اِنّيْ َلاَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.

“Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat seandainya ia mau mengucapkannya pastilah hilang marah itu darinya, seandainya ia mengucapkan: A’udzu billaahi min asy-syaithan ar-rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk)” (HR al-Bukhari bab Adab, Mewaspadai Kemarahan 4/64).

Kesembilan, Makna isti’adzah seperti yang pernah diungkap Imam ath-Thabari, sepertinya Imam al-Qurthubi pun mengambil pendapat ini dari Tafsirnya Imam Thabari, dalam ungkapan bangsa Arab ialah minta perlindungan dan keberpihakan kepada sesuatu. Orang Arab biasa mengatakan hal-hal semacam jampi-jampi di masa jahiliyah, jika ada sesuatu yang tidak disenangi atau memudaratkannya. Allah menggantinya sesuai yang dikehendaki dan diridhaiNya.

Kesepuluh, Kata asy-syaithan adalah bentuk tunggal dari asy-syayaathini yang bentuk jamak taksir, huruf nun di kata “syaithan” adalah huruf aslinya. Makna mulanya adalah “jauh”, karena setan jauh dari kebaikan. Dinamakan demikian pun karena setan jauh dari kebenaran dan karena kesewenangannya. Oleh karena itulah setiap yang zhalim dan melampaui batas dinamakan sebagai setan, baik ia manusia, jin atau pun binatang melata.

Tafsir ta’awud atau isti’adzah ini hendaknya diketahui segenap Muslim, betapapun tidak secara mendalam, mengingat segenap hamba Allah yang beriman diperintahkan olehNya agar berlindung kepadaNya dari godaan setan. Pengamalan QS an-Nahl ayat 98.[]

Notes: [1] Bukan Ibn Arabi yang penganut tasawuf falsafi. Imam Ibnul Arabi yang dimaksud adalah ahli fiqih, hadits dan Tarikh.

Ilham Martasya’bana, Peminat kajian tafsir al-Qur’an, Mujaz Sanad Tafsir Jami’ al-Bayan ath-Thabari, Tafsir Jami’ li Ahkamil Qur’an al-Qurthubi dan Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim Ibn Katsir

Laman sebelumnya 1 2 3
Back to top button