OPINI

Taliban Versi Indonesia: Realistiskah?

Taliban kembali mengambil alih seluruh wilayah Afghanistan, hampir mirip seperti yang pernah terjadi pada tahun 1998 dua dekade lalu. Serangan 9/11 di New York menjadi titik nadir Taliban pada tahun 2001 dimana seluruh kekuatan mereka banyak yang lumpuh dan pasukannya banyak kabur ke negeri Pakistan untuk ber“hibernasi”.

Tetapi, dengan pasukan yang tersisa, Taliban bisa kembali melakukan reorganisasi dan rekonsolidasi dengan pendekatan praktis mempraktikkan hukum Islam di tengah masyarakat Afghanistan yang lelah hidup dalam peperangan terus menerus dan korupsi yang merajelala oleh para pejabat publiknya. Taliban kembali bisa merebut hati masyarakat Afghanistan dengan kepraktisan dan kesederhanaan pemerintahan mereka yang langsung dapat menyelesaikan berbagai masalah di desa desa yang mereka kuasai tanpa berbelit belit seperti layaknya pemerintahan modern yang kita kenal.

Bayangkan praktisnya mereka, para pihak yang merasa dizalimi oleh seseorang, tidak perlu “bolak-balik” ke pengadilan dan tanpa perlu pengacara. Sekali mereka datang ke seorang hakim Taliban yang selalu standby di desa mereka, saat itu pula masalah diselesaikan kemudian pasukan bersenjata Taliban akan langsung memastikan keputusan itu dijalankan dan segera “mengeksekusi” yang melanggar keputusan hakim Taliban tersebut. Praktik ini membuat masyarakat merasa nyaman dan terjamin keamanannya. (BBC, 2014)

Kini tahun 2021, buah dari kerja pendampingan masyarakat dengan pendekatan praktis tersebut membuat Taliban mampu menguasai kembali Afghanistan. Pasukan Amerika bersama sekutunya terutama pasukan Inggris sudah kelelahan baik secara finansial maupun dukungan militer selama berperang dengan Taliban sehingga tidak mampu lagi mendukung pasukan “boneka” lokal yang mereka bentuk.

Afghanistan yang sebenarnya sudah pernah diduduki Inggris pada tahun 1830-an, mampu berkali-kali mengusir para penjajah yang datang ke negeri mereka. Sebelum kekalahan Amerika kali ini, Uni Sovyet pun pernah merasakan pil pahit yang sama. Walaupun terbuka kemungkinan “perang saudara” di antara kelompok/suku di Afganistan yang biasa dipimpin oleh para panglima perang (Warlords) pasca perebutan kekuasaan ini, tetapi hal yang menarik perlu kita eksplorasi adalah sejauh mana efek kemenangan Taliban ini dapat mempengaruhi kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang rindu ditegakkannya syariat Islam secara sempurna di Indonesia.

Lain di Afghanistan lain pula di Indonesia. Sejarah kekuatan militer dengan basis para pelajar/santri bukan barang baru di Indonesia. Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah telah berperan besar dalam memerdekakan Indonesia dari penjajahan. Panglima Sudirman yang pertama kali memimpin pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan seorang santri dan kemudian menjadi Ustadz/Guru di Muhammadiyah sebelum akhirnya bergerilya memimpin TNI melawan penjajahan Belanda.

Adalah sesuatu yang biasa dan lazim pada masa kemerdekaan para santri dan ulama menjadi tenaga pasukan dalam melawan penjajah. Adanya seruan jihad dari para ulama menjadi bahan bakar yang membuat mereka berani tampil di medan pertempuran melawan penjajah yang bersenjatakan lengkap, mirip seperti para Taliban di Afghanistan yang rata-rata hanya bermodalkan senjata usang buatan tahun 1980-1990-an sisa sisa peperangan melawan Uni Sovyet.

Jadi, kemenangan “Taliban” versi Indonesia sudah jauh kita rasakan sejak 70 tahun-an yang lalu, sehingga bila ada kelompok Islam yang merasa perlu menduplikasi cara Taliban di Afghanistan saat ini tentunya melakukan pekerjaan yang mundur (setback) ke belakang. Justru kita harus memperkuat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dulu lahir dari rahim “Taliban Indonesia” yaitu para santri dan ulama untuk kembali mau merefleksikan akar sejarah mereka dan kemudian merumuskan strategi baru TNI yang lebih berpihak pada nilai nilai ke-santri-an dan ke-ulama-an.

Jika ada pihak-pihak yang berupaya untuk terus menjauhkan TNI dari nilai nilai ke-Islam-an maka sebenarnya TNI telah berbelok dari nilai – nilai sejati yang menjadi spirit utama pendirian dari TNI itu sendiri. Kemenangan TKR di beberapa pertempuran saat itu yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman merupakan buah dari seruan jihad dari para ulama, seperti apa yang terjadi pada Taliban di Afghanistan.

Terlepas kita setuju atau tidak setuju dengan Jihad para Taliban di Afghanistan, mereka bisa bertahan dalam hidup yang sangat keras selama puluhan tahun untuk melawan yang mereka anggap penjajah karena seruan Jihad dari para ulama mereka. Bandingkan dengan pasukan “boneka” lokal yang dibentuk oleh Amerika dan sekutunya, ketika dukungan finansial kepada pasukan militer dicabut dan tidak digaji berbulan-bulan maka dengan serta merta pasukan “boneka” itu rontok berhamburan meninggalkan tugas. Taliban termotivasi oleh seruan jihad para ulamanya sedangkan pasukan “boneka” Amerika termotivasi karena materi semata.

Itulah yang juga pernah terjadi dulu pada TKR, pasukan TKR keluar masuk hutan dan sering tidak menerima bantuan materi dari pemerintahan pusat, karena pada saat itu keuangan negara tidak mencukupi, tetapi mereka tetap setia hidup serba kekurangan di hutan-hutan bergerilya untuk mengusir penjajah, itu semua tidak mungkin dilakukan tanpa adanya motivasi immaterial spiritual yang diserukan oleh para ulama sebagai panggilan jihad.

Oleh sebab itu, jika TNI meninggalkan akar aspek immaterial spiritual seperti yang pernah dilakukan para TKR saat itu, maka kita akan melihat efek buruknya nanti suatu saat. Kecintaan kepada nilai-nilai Islam akan menimbulkan juga kecintaan kepada rakyat, nilai keadilan, nilai kejujuran, nilai toleransi dengan yang berbeda agama dan ras dan nilai -nilai kebaikkan lainnya, karena dalam Islam terkumpul segala macam seluruh kebaikkan melampaui nilai-nilai kebaikkan ajaran atau ideologi apapun di luar Islam.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button