SUARA PEMBACA

Tanpa Utang, Negara Berdaulat

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang digelar secara virtual pada 21-22 November lalu, memunculkan kesepakatan dari sejumlah negara yang paling rentan menghadapi dampak pandemi Covid-19. Untuk bisa melakukan perpanjangan cicilan utang, hingga pertengahan tahun 2021 yang dinamakan Debt Service Suspension Inisiative (DSSI).

Kata Sri Mulyani, DSSI adalah inisiatif untuk memberikan fasilitas relaksasi bagi pembayaran utang negara-negara rentan, yang saat ini dihadapkan pada kondisi ekonomi dan fiskalnya yang sangat sulit, salah satunya Indonesia.

Karena itu, di dalam pembahasan DSSI tersebut kemudian didukung oleh lembaga multilateral seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, menyepakati untuk memberikan relaksasi cicilan utang. (cnbnindonesia.com, 22/11/20)

Jika kita perhatikan, utang Indonesia terus bertambah setiap tahunnya dan kian menumpuk. Menurut laporan International Debt Statistics ISD2021 atau Statistik Utang Internasional yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, Indonesia, tercatat menjadi negara dengan utang luar negeri tertinggi ketujuh sebesar US$ 402,08 miliar. Dengan kurs rupiah pada Kamis (15/1/2020) di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (Rp14.780) besaran utang luar negeri Indonesia 2019 sekitar Rp5.942,74 triliun. (Kontan.co.id, 15/10/20)

Dengan utang yang semakin menggunung, itu membuktikan kegagalan penguasa dalam mengurusi Negara. Sungguh disayangkan hal tersebut terjadi pada Indonesia. Negara yang di setiap jengkal tanahnya terdapat sumber daya alam yang sangat melimpah, baik di daratan maupun di lautan.

Inilah yang terjadi jika negara menerapkan sistem kapitalisme liberal. Dimana negara menempatkan pendapatan utama negara pada utang dan pajak. Padahal dengan melakukan utang tersebut semakin memperkuat hegemoni negara penghutang di negara penerima utang.

Akibatnya, negara penerima utang harus mengikuti keinginan negara pemberi utang, seperti menjual satu persatu aset dan sumber daya alam negara. Ditambah lagi beban bunga yang diberikan semakin besar setiap tahunnya. Semua ini akan ditanggung oleh rakyat dan generasi masa depan dengan diterapkannya pajak hampir di seluruh sektor.

Padahal Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang beraneka ragam, potensi hutan, laut, sumber daya mineral dan energi. Tapi sangat disayangkan, besarnya potensi SDA Indonesia masih belum berhasil mengentaskan kemiskinan seluruh rakyat negeri ini. Masyarakat kesulitan membiayai pendidikan, kesehatan dan perumahan. Kemiskinan adalah akibat dari pembangunan ekonomi yang tidak berhasil. Ini semua berasal dari cara pengelolaan SDA yang berbasis kapitalisme liberal.

Dalam Islam, utang tidak menjadi salah satu sumber utama pemasukan negara, seperti yang terjadi saat ini. Akan tetapi pemasukan negara berasal dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya.

Negara tidak disarankan untuk melakukan utang luar negeri. Selain karena mengandung ribawi, tetapi juga dapat menghambat kedaulatan Negara. Terlebih lagi, melakukan utang luar negeri untuk perbaikan infrastruktur, itu tidak akan pernah dilakukan oleh Negara Islam.

Dapat dipastikan ledakan utang tidak akan mungkin terjadi dalam kepemimpinan Islam. Karena negara, bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum. Negara juga tidak akan memberlakukan liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Selain itu, pendapatan diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). Dengan begitu, harta Baitul Mal selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi.

Alhasil, hanya Negara Islam, yang dapat memberlakukan sistem ekonomi Islam yang paripurna. Lebih dari itu, aspek kehidupan lainnya, seperti : politik, sosial, budaya, pendidikan, hukum, serta pemerintahan, seluruhnya menggunakan aturan Islam. Sehingga kemandirian dan kedaulatan akan diraih Negara Islam. Tanpa ada rongrongan negara barat, yang terus mendikte negeri-negeri muslim, dengan mengiming-imingi utang yang berbunga. Kebutuhan dalam negeri akan terpenuhi dari Baitul Mal yang memiliki pemasukan yang melimpah, tanpa harus berutang. Rakyat pun akan mendapatkan kesejahteraan, tanpa harus mengorbankan SDA menjadi milik asing.

Amatullah Syahidah, SE

Artikel Terkait

Back to top button