NASIONAL

Taufiq Ismail dan Kenangan bersama Masyumi

Jakarta (SI Online) – Sastrawan senior Taufiq Ismail punya ikatan sejarah yang kuat dengan partai politik Islam terbesar yang pernah eksis di Indonesia yaitu Masyumi. Kedua orang tuanya adalah aktivis Masyumi di masa penjajahan Belanda.

“Sekarang umur saya 84 tahun, kenangan pada masa kanak-kanak ketika Masyumi mulai berkibar saat umur saya belasan tahun dan ada keterlibatan yang sangat dekat, karena orang tua saya ayah bernama Abdul Gaffar Ismail dan ibu bernama Tinur Muhammad Nur keduanya adalah aktivis Masyumi,” ungkap Taufiq Ismail dalam acara Masyumi Reborn di Aula Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3/2020).

Pada masa penjajahan, kata Taufiq, ada sekitar 10 orang tokoh yang melawan penjajah Belanda itu diintrogasi kemudian dibuang keluar daerah. “Ayah dan ibu saya aktivis di Sumatera Barat, ayah tamatan Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, ibu tamatan Diniyah Padang Panjang, dan kemudian keduanya dibuang ke Pulau Jawa tepatnya di Pekalongan,” ujarnya.

Saat hijrah di Pulau Jawa, keinginan sang ayah membuat pesantren di Pekalongan, namun tentu saja itu ditolak oleh Belanda. “Akhirnya ayah dan ibu saya membuat pengajian di Pekalongan dan alhamdulillah pengajian itu berlangsung selama 50 tahun,” tutur Taufiq.

“Pada waktu itu, ayah saya selain ikut di Pengurus Besar (PB) Masyumi juga menjadi pimpinan redaksi dari harian Islam namanya koran “Al-Djihad” di Yogyakarta. Dalam proses kegiatan itu, kemudian lahirlah anak pertama berjenis laki-laki yang diberi nama Taufiq, namun anak tersebut akhirnya meninggal di umur tiga bulan. Kemudian ibu saya mengandung lagi, namun ketika itu dipanggil nenek agar pulang ke Bukit Tinggi, saat itu kami sebagai orang tua takut pergi ke Jawa karena terasa jauh sekali,” tambahnya.

Ketika itu, lahir kembali anak laki-laki dan hendak diberi nama yang sama yaitu Taufiq, namun keluarga meminta agar tidak memberi nama Taufiq lagi khawatir sama dengan kakaknya berumur pendek. “Tetapi pesan ayah dari Pekalongan melalui telegram, ia bersikeras untuk tetap memberi nama Taufik karena yang memberi umur panjang atau pendek itu Allah bukan karena nama. Setelah itu keluarga pun mengikuti keinginan ayah, dan bayi itu alhamdulillah saat ini sudah berumur 84 tahun,” katanya.

Taufik menceritakan, Masyumi ketika masa awal kemerdekaan itu benar-benar berkibar. “Saya sekolah di SD di Ngupasan yang lokasinya di belakang istana negara (saat itu ibu kota berada di Yogyakarta). Sementara kantor PB Masyumi itu di Pakuningratan dekat dari istana dan sekolah saya. Sejak umur sekitar 13 tahun saya selalu mampir ke kantor PB Masyumi, kemudian saya melihat tokoh-tokoh yang saya kagumi, diantaranya Dr Sukiman Wirjosandjojo, Dr Abu Hanifah, Anwar Haryono, Isa Anshary, Wahid Hasyim, Kartosuwiryo dan lain-lain. Nama-nama yang disebut itu saya sebagai anak-anak ingin sekali bersalaman, jadi saya sudah bersalaman dengan semuanya,” tuturnya.

Di masa itu, ada momen berkesan bagi Taufiq saat bertemu dengan tokoh pergerakan Islam yaitu Kartosuwiryo. “Ketika tidak tahan melihat perlakuan pemerintah yang tidak suka kepada umat Islam saat itu, Kartosuwiryo pindah ke Jawa Barat. Sebelum berangkat ke Jawa Barat, beliau datang ke rumah menemui ayah saya. Dan saat itu, ayah memanggil saya agar bersalaman dahulu dengan om Kartosuwiryo, alhamdulillah,” ungkapnya.

Taufiq mengakui, hubungan antara dirinya, seorang anak tiga belas tahun dengan simpul-simpul tokoh politik itu ternyata bertahan terus sampai dewasa. “Masyumi itu saya anggap seperti sebagai tempat latihan, dan alhamdulillah saya bisa hadir di sini, mudah-mudahan Masyumi Reborn dapat memberikan situasi yang baru bagi Indonesia. Namun tolong dipikirkan, Masyumi pada tahun itu umat Islamnya berjumlah 60 juta, sekarang sudah 200 juta. Jangan berfikir dengan cara 60 juta tetapi harus 200 juta, tetapi saya yakin insyaallah ini sudah dipikirkan oleh panitia,” tandas Taufiq.

Seperti diketahui, acara Masyumi Reborn tersebut merupakan silaturahmi keluarga besar dan pencinta Masyumi. Kegiatan itu banyak dihadiri ulama dan tokoh pergerakan Islam.

Di antara tokoh yang hadir nampak Pimpinan Perguruan Islam As-Syafiiyah KH Abdul Rasyid Abdullah Syafiie, Pengasuh Pesantren Husnayain KH A Cholil Ridwan, mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua, mantan Rektor Unissula Semarang Laode M Kamaludin, mantan Menteri Kehutanan MS Kaban, Pimred Suara Islam Aru Syeif Assadullah, Sekjen FUI Muhammad Al Khaththath, pengacara Eggy Sudjana, aktivis Sri Bintang Pamungkas, dan masih banyak lainnya.

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button