Tidak Ada Kesialan di Bulan Safar

Jadi jelas menurut hadis shahih diatas juga diperjelas dalam kitab Faidh Al-Qadir tidak ada hari, bulan sial. Apapun yang terjadi dimuka bumi ini semuanya kehendak Allah. Tidak ada kesialan dan keberuntungan kecuali atas kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Jadi kita jangan mengaitkan satu kesialan atau keberuntungan dengan sesuatu hal termasuk dengan hari atau bulan. Kalau demikian halnya namanya ‘tathayyur’ yang dilarang dalam Islam karena merusak tauhid atau syirik. Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan setan berupa godaan dan bisikannya.
Di samping sabdanya, Rasulullah Saw sendiri langsung dengan tindakan untuk menepis anggapan atau tradisi jahiliyah yang keliru, yaitu antara lain : Rasulullah Saw sendiri melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah juga di bulan Safar.
Selain dirinya, Rasulullah saw juga menikahkan putrinya, yaitu Sayyidah Fatimah az-Zahra (Siti Fatimah) dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib di bulan Safar dengan penuh kegembiraan.
Rasulullah Saw juga memulai hijrahnya dari Kota suci Makkah ke Kota Madinah pada akhir bulan Safar di gua al-Hajar sebagaimana para ulama sebutkan.
Demikian disebutkan dalam kitab “Mandzumah Syarh al-Atsar fî mâ Warada ‘an Syahri Safar” (hal 9) yang ditulis Habib Abu Bakar al-‘Adni.
Thiyarah atau Tathayyur itu Syirik
Anggapan sial yang dikaitkan dengan hari atau bulan tertentu, itu namanya thiyarah atau tathayyur, dan termasuk kesyirikan yang dapat merusak tauhid.
Rasulullah Saw bersabda:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya. (HR. Al Bukhari, Abu Daud, dan lainnya).
Kalaulah thiyarah itu syirik besar maka pelakunya keluar dari Islam alias murtad. Tapi kalau thiyarah itu syirik kecil, tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam tapi dosa besar. Wallahu a’lam bishawab.
Prinsip Taat Ulama
Wajib menaati ulama ketika selaras dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Namun ketaatan pada ulama bukan berdiri sendiri, artinya jika tidak bersesuaian dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka wajib ditinggalkan.
Kita diperintahkan untuk mentaati ulama. Namun kalau ada perselisihan kembali pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah Rasul) sebagaimana dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)