NASIONAL

Tim Advokasi: Kriminalisasi HRS Bagian dari Operasi Intelijen Berskala Besar

Jakarta (SI Online) – Tim Advokasi Habib Rizieq Syihab (HRS) telah mengeluarkan Nota Keberatan (Eksepsi) atas dakawaan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Eksepsi setebal 66 halaman tertanggal 16 Maret 2021 lalu itu berjudul “Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman-Tegakkan Keadilan.”

Banyak hal menarik disampaikan Tim Advokasi dalam eksepsi tersebut. Di antaranya adalah soal keyakinan Tim Advokasi bila keberadaan HRS sebagai terdakwa dalam kasus yang disidangkan saat ini adalah akibat dari perjuangan melawan ketidakadilan dan keszaliman.

“Keberadaan klien kami sebagai terdakwa dalam perkara a quo dan terjadinya persidangan ini, hakikatnya adalah akibat dari nasehat yang dilakukan klien kami terhadap ketidakadilan dan kezaliman yang merajalela,” bunyi eksepsi tersebut dikutip Sabtu, 20 Maret 2021.

Disebutkan, bahwa selama ini HRS hanyalah menjalankan amalan yang diperintahkan oleh Datuknya, yaitu Rasulullah Saw yang telah bersabda: “Agama itu adalah nasihat.” Kami berkata, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan.” (HR. Muslim)

Tim Advokasi mengakui, nasihat secara diam-diam merupakan pilihan awal dalam melawan kemungkaran. Namun ia bukanlah satu-satunya cara untuk meluruskan kesalahan penguasa. Sebab Rasulullah Saw bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Hal menarik selanjutnya adalah, Tim Advokasi menyebut perkara yang saat ini menimpa HRS adalah perkara politik dan menjadi bagian dari Operasi Intelijan Berskala Besar (OIBB). Pelakunya, kata Tim Advokasi, adalah rezim yang zalim, dungu dan pandir.

Menurut Tim Advokasi, jika dicermati secara keseluruhan dari lima dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, baik dakwaan pertama, dakwaan kedua, dakwaan ketiga, dakwaan keempat dan dakwaan kelima, uraian mengenai cara melakukan perbuatan yang didakwaan merupakan pengulangan dan semata-mata meng-copy paste dari dakwaan pertama.

Padahal, lanjut Tim Advokasi, dari lima dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan, kualitas dari masing-masing tindak pidana dan unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya.

Menurut Tim Advokasi, hal itu menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan dakwaan terhadap perkara ini sama sekali tidak yakin atau mungkin bingung, apa sesungguhnya perbuatan yang telah dilakukan dalam perkara ini sehingga dakwaan yang dibuat bukan atas dasar hasil investigasi namun lebih banyak didasarkan atas imajinasi, spekulasi, dan duplikasi, serta kental akan muatan politik dan rekasaya semata.

“Oleh karena itu sekali lagi kami harapkan agar persidangan perkara a quo, benar benar menjadi proses pengadilan bukan sekadar proses penghakiman dan penghukuman,” ungkap Tim Advokasi.

Tim Advokasi berpendapat, dilihat dari jejak perjuangan HRS, jelas bahwa kriminalisasi HRS dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari Operasi Intelijen Berskala Besar (OIBB) oleh rezim zalim dungu dan pandir.

Tim Advokasi menyebutkan, Operasi Intelijen Berskala Besar ini terdiri dari delapan operasi, yakni:

  1. Operasi black propaganda terhadap HRS dan FPI;
  2. Operasi kontranarasi terhadap HRS dan FPI;
  3. Operasi pencegahan kepulangan HRS dari Saudi walau gagal mencegah HRS pulang tapi berhasil menghambat dan mengganggu kepulangan sehingga membutuhkan waktu 3,5 tahun baru HRS bisa pulang;
  4. Operasi penggalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama diberbagai provinsi untuk menolak keberadaan HRS dan FPI;
  5. Operasi konyol penurunan baliho di berbagai tempat oleh aparat yang bukan tupoksinya;
  6. Operasi konyol mengerahkan komando operasi khusus hanya sekadar untuk membunyikan sirine di Petamburan;
  7. Operasi pembantaian pengawal HRS; dan
  8. Operasi surveillance dan penjejakan terhadap HRS sehari 24 jam, seminggu 7 hari, sebulan 30 hari, setahun 365 hari.

“Sehingga selain perkara a quo adalah politik, juga merupakan bentuk dan bagian serta lanjutan dari operasi intelijen berskala besar tersebut,” kata Tim Advokasi.

Menurut Tim Advokasi, bukti paling nyata bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari Operasi Intelijen Berskala Besar adalah persidangan terhadap HRS tidak dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Buktinya antara lain: persidangan tidak dilakukan pada locus delicti peristiwa yang didakwakan, pasal-pasal yang didakwakan mengarah kepada pasal-pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal-pasal selundupan lainnya, dan persidangan dilakukan melalui sidang elektronik padahal tidak ada satupun UU yang membolehkan.

“Oleh karenanya kami meminta kepada majelis hakim yang terhormat untuk membatalkan seluruh proses yang tidak sesuai dengan KUHAP ini. Sebagaimana telah kami sampaikan di atas bencilah dan cegahlah kemungkaran dengan tanganmu,” kata Tim Advokasi.

red: farah abdillah

Artikel Terkait

Back to top button