NUIM HIDAYAT

Tim Jokowi Itu Sekuler Radikal

Inilah yang patut disesalkan. Khilafah adalah cita-cita. Khilafah adalah keinginan umat Islam mempunyai negara besar yang berpengaruh terhadap dunia. Indonesia bisa menjadi khilafah yang demokratis dengan dasar Pancasila. Umat Katolik punya ‘khilafah’ di Roma, mengapa tidak dilarang. Kaum sekuler punya ‘khilafah Amerika’, mengapa tidak dilarang. Kaum komunis punya ‘khilafah Cina’, mengapa juga tidak dilarang.

Begitu problematisnya istilah radikalisme ini, maka Prof. John L Esposito, Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown Amerika Serikat menyatakan, ”Isu radikalisme agama merupakan taman bermain bagi intelijen dan ini membahayakan masa depan agama.”


Ketidakadilan pemerintah terhadap umat Islam ini, menjadikan banyak tokoh umat bertanya, siapa di balik Jokowi ini? Mereka tahu bahwa Jokowi yang ilmu dan pengalamannya dari Solo, mantan pengusaha kayu, tidak punya pemahaman yang luas tentang politik, militer, ideologi dan lain-lain. Pasti ada lingkaran kecil yang mengelilingi Jokowi. Sebagian ahli politik menyebutnya ‘inner circle’.

Di antara lingkaran terkecil yang mengelilingi Jokowi adalah Luhut Pandjaitan dan Andi Widjajanto. Luhut adalah tentara yang cerdas dan Andi adalah ahli militer yang cerdas. Luhut dan Andi berteman akrab. Luhut yang ‘membawa’ Jokowi ke Jakarta dan Andi yang setia menemani Jokowi dalam banyak kampanye Jokowi sejak 2014.

Bila kita jeli, maka Tim Jokowi inilah –tentu tidak hanya Andi dan Luhut- sebenarnya yang menggodok arah ekonomi dan politik di Indonesia. Bukan Jokowi. Tim inilah yang menentukan siapa Kapolri, siapa Panglima TNI, siapa Gubernur Lemhanas, siapa menteri yang harus diangkat dan dicopot, apa program utama pemerintah, mengapa ibukota negara harus pindah ke Kalimantan, bagaimana mempengaruhi opini masyarakat dan seterusnya. Maka jangan heran bila Fadli Zon menyatakan bahwa Jokowi hanyalah boneka. Jokowi hanyalah menerima masukan-masukan dari timnya ‘apa yang dilakukan dan dikatakan.’

Kembali ke masalah radikalisme. Jokowi menyuruh TNI/Polri termasuk ibu-ibunya tidak mengundang penceramah radikal. Apa definisi radikalisme, nggak jelas. Jokowi kini menyatakan bahwa mereka yang menolak pemindahan ibukota negara baru termasuk radikal. Jadi bila ditelusuri maka definisi radikal menurut pemerintah adalah mereka yang beroposisi dengan pemerintah, mereka yang mempunyai cita-cita negara Islam/khilafah, mereka yang menganggap Islam lebih mulia dari agama lain dan seterusnya.

Jadi tim Jokowi setelah ‘sukses’ mengatur penceramah di instansi-instansi pemerintah, mereka kini akan mengambil alih mengatur penceramah agama di TNI-Polri. Bila di bawah SBY, TNI Polri dan keluarganya bebas bermain medsos, di bawah Jokowi, mereka diawasi. Beberapa kejadian menunjukkan bahwa istri yang bermain medsos sembarangan, menjadikan suaminya yang TNI/Polri dikenai sanksi.

Melihat arah kebijakan pemerintah ini, kita khawatir Indonesia meniru Mesir yang tidak peduli dengan demokrasi atau China yang ‘menyetir ideologi’ rakyatnya. Mesir dengan presidennya as Sisi bertindak keras terhadap umat Islam di sana. Bukan hanya ribuan tokoh dan aktivis Islam dipenjara serta dihukum mati (khususnya yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin), tapi juga buku-buku Islam yang ditulis ulama-ulama Ikhwanul Muslimin dilarang. Padahal Ikhwanul Muslimin adalah ‘organisasi Islam terbesar’ di Mesir, bahkan di seluruh dunia. Ikhwanul Muslimin adalah partai resmi yang merakyat di Mesir, yang kini dilarang presiden Mesir.

Mesir kini dikendalikan oleh penguasa militer sepenuhnya. Mereka tidak peduli terhadap demokrasi. Dan apa hasilnya? Mesir terus menerus dalam konflik, miskin dan tidak menjadi negara maju, adil dan makmur.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button