Tipuan Kejayaan Materialis: Istidraj pada Level Bangsa
Kata istidraj di dalam “Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali” (Abdul Mujieb, Ahmad Ismail), diartikan sebagai “pembiaran”. Yaitu pembiaran karena tidak mau berhenti melakukan kemaksiatan dan kemusyrikan. Istidraj merupakan peringatan keras dari Allah SWT.
Pembiaran pada kesenangan duniawi yang justru akan menuju pada kebinasaan ini ditimpakan setelah pengabaian terhadap hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang senantiasa diingatkan oleh para pembawa/pelanjut risalah-Nya.
Kata istidraj di dalam Al-Qur’an ditemukan pada QS al-A’raaf (7): 182 dan QS al-Qalam (68): 44 (pada kata: sa-na-stadriju-hum)
فَذَرْنِى وَمَن يُكَذِّبُ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ ۖ سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka serahkanlah kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan biarkan mereka berangsur-angsur (menuju kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui,” [QS. al-Qalam (68): 44].
Buya Hamka menjelaskan di dalam “Tafsir Al-Azhar” jilid 3, bahwa istidraj menurut ayat di atas bermakna dikeluarkan dari garis lurus kebenaran tanpa disadari. Allah SWT memperlakukan apa yang dia kehendaki, dibukakan segala pintu kesenangan hingga orang tersebut lupa diri.
Pada level individu (al-insaan), istidraj merupakan bentuk tipu daya dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang yang lalai dalam mengingat (ibadah) kepada Rabb-nya atau sering melakukan kemaksiatan, namun hidupnya terus dilimpahi kenikmatan. Istidraj dapat terjadi dalam berbagai bentuk kenikmatan, seperti harta, kekuasaan, dan kedudukan/status sosial.
Istidraj juga dapat menimpa masyarakat/bangsa suatu negeri, yang sangat erat kaitannya dengan sistem-hidup dan kekuasaan yang dijalankan atau berlaku di negeri tersebut. Dengan men-tadabburi Kitabullah (Al-Qur’an) akan ditemukan pola (fase/tahapan sunnatullah) dari istidraj pada suatu bangsa (masyarakat sosio-politik).
Pola istidraj pada Masyarakat Sosio-Politik (Bangsa suatu Negeri) QS al-An’aam (6): 42-45, dan QS al-A’raaf (7): 94-96
Negeri di ambang krisis dan kemerosotan (corrupt) -> bangkitnya penyampai/pelanjut risalah -> pengabaian risalah oleh penduduk negeri -> masa kesenangan dan kemajuan materialis -> bencana (adzab).
“Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang,) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah). Akan tetapi, mengapa mereka tidak tunduk merendahkan diri (kepada Allah) ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan terasa indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan. Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa. Maka, orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” [QS al-An’aam (6): 42-45]
“Kami tidak mengutus seorang nabi pun di suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu,) melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan agar mereka (tunduk dengan) merendahkan diri. Kemudian, Kami ganti penderitaan itu dengan kesenangan (sehingga keturunan dan harta mereka) bertambah banyak. Lalu, mereka berkata, “Sungguh, leluhur kami telah merasakan penderitaan dan kesenangan.” Maka, Kami timpakan siksaan atas mereka dengan tiba-tiba, sedangkan mereka tidak menyadari. Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” [QS al-A’raaf (7): 94-96]
Allah SWT “membangkitkan” para pemberi peringatan kepada suatu negeri yang sedang menuju pada kemerosotan (corrupt) yang sistemik agar kembali kepada sistem yang benar (ad-dien al-haq). Kemudian negeri itupun mengalami krisis (penduduknya ditimpa kesulitan hidup baik secara sosial, ekonomi, akhlak, dll). Dalam kondisi tersebut, risalah yang dibawa para da’i ini diacuhkan, bahkan beberapa pemuka negeri menimpakan kesalahan kepada para penyeru kebenaran sebagai penyebab kemalangan yang mereka alami [QS Yaasiin (36): 18-19, QS al-A’raaf (7): 131].