NUIM HIDAYAT

Ulama dan Presiden

Presiden adalah manusia nomor satu di negeri ini. Ia mempunyai kekuasaan yang luas. Mulai dari mengangkat menteri, wakil menteri, kepala badan, kepala Polri, Panglima TNI, hingga komisaris. Ia juga berhak membuat undang-undang bersama DPR, mengeluarkan peraturan presiden, hingga membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Presiden mendapat fasilitas nomor satu di negeri ini. Mulai dari istananya, kesehatannya, makanannya, pengawalannya hingga penjagaan keluarganya.

Fasilitas yang serba wah dari negara itu, diharapkan presiden dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Ia juga diharapkan mendengarkan masukan -masukan dari menteri, staf ahli, penasihat maupun rakyatnya. Presiden tidak boleh baperan, ia harus mau mendengar kritik sekeras apapun di telinganya. Itulah harga yang harus diterima karena fasilitas yang mewah diterimanya.

Sebagai presiden, ia seharusnya mendulukan kepentingan rakyatnya. Ia harus berusaha sekuat tenaga memakmurkan rakyatnya. Tidak boleh ia bermewah-mewah menikmati istana dan gajinya, sementara rakyatnya kelaparan.

Ia harus dapat mengelola keuangan negara dengan tepat. Rakyat yang mestinya dimakmurkan lebih dulu bukan pejabat. Kini berlaku sebaliknya para pejabat makmur, rakyatnya melarat. Kemiskinan di tanah air menurut Bank Dunia masih 40 persen, yakni masih 110 juta orang.

Selain tugasnya memakmurkan rakyat, presiden juga mempunyai tugas bertindak adil terhadap rakyatnya. Ia harus bisa memastikan bahwa hukum adil untuk semua. Baik untuk pejabat maupun rakyat. Sekarang ini hukum lebih banyak tajam ke masyarakat bawah dan tumpul ke kalangan pejabat. Hukum juga masih banyak diperjualbelikan. Baru baru ini terbongkar salah satu makelar kasus di Mahkamah Agung yang uang sogoknya lebih dari satu triliun disimpan di rumahnya.

Ulama Harus Berani

Di negeri kita, ulama berperan secara informal. Ulama tidak ada peran khusus yang bisa mengarahkan presiden. Ulama hanya menjadi penasihat yang memberi saran atau masukan kepada presiden. Bahkan karena ulama, khususnya MUI, karena mendapat bantuan dari presiden, maka MUI seperti di bawah presiden.

Di dalam masyarakat Islam, ulama harusnya kedudukannya lebih tinggi dari presiden. Ulama atau cendekiawan Islam.lah yang memberi arahan dan petunjuk.kepada presiden. Sehingga presiden tidak salah dalam mengambil kebijakan. Sistem ini diterapkan di zaman kekhalifahan Islam dulu atau di negara seperti Iran. Dengan kedudukan ulama di atas presiden, maka negara menjadi jelas arahnya. Negara tidak tunduk kepada hawa nafsu presiden yang seringkali membuat negara menjadi kacau atau tidak jelas arahnya. Seperti yang terjadi di negeri kita sekarang ini.

Penguasa yang baik adalah penguasa yang mau datang ke ulama. Ulama yang buruk adalah ulama yang datang ke penguasa dan mengharap upah darinya.

Makanya dalam sejarah Islam, banyak ulama yang tidak mau diberi uang oleh penguasa. Alasannya, bila mereka mau diberi, maka mereka akan enggan atau takut untuk menegur penguasa. Padahal penguasa seringkali berbuat zalim atau cenderung mengikuti hawa nafsunya.

Maka banyak.ulama yang dipenjara karena keberaniannya dalam menegur penguasa. Ibnu Taimiyah, para imam mazhab, Sayid Qutb, Hamka dan lain-lain. Para ulama itu kokoh dan berani menasihati penguasa karena mereka melihat kezalimannya.

Imam Ghazali mengibaratkan Nabi atau ulama itu adalah dokter. Dokter yang mengobati kehidupan umat termasuk kehidupan penguasa. Ulama tahu penyakit-penyakit hati yang akan membawa kerusakan manusia. Bila tidak diobati maka akan menimbulkan kerusakan di masyarakat, apalagi bila penyakit ini dimiliki pemimpin. Sifat riya’, ujub, hasad, sombong, dendam harus bersih dati pemimpin. Bila pemimpin memiliki sifat-sifat ini, maka akan rusaklah kepemimpinannya.

Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin mengingatkan,”Maka kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan.

Siapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil. Bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.” Wallahu alimun hakim.[]

Nuim Hidayat

Artikel Terkait

Back to top button